JAKARTA-Memang tidak ada pilihan, pemilu serentak harus dievaluasi total. Mulai sistem, sosialisasi, anggaran hingga pelaksanaannya. Pasalnya, implementasi yang rumit dan munculnya banyak kelemahan, bisa mendegradasi kepercayaan publik terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terutama hasilnya.
“Ini (sistem red) pemilu benar-benar rumit. Bukan hanya korban jiwa dan petugas yang mengalimi sakit. Tak bisa dibiarkan begini, harus dievaluasi total, termasuk diaudit,” tegas Wakil Ketua Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh, kemarin (24/4).
Menurut Ninik, sapaan Nihayatul Wafiroh, pemilu serentak betul-betul menguras energi, tenaga, dan waktu. Bukan hanya KPU dan jajarannya yang berhari-hari di PPK. Tim para caleg juga harus bergantian menunggu di kecamatan. “Tim saya harus dibagi sif. Bahkan, keluarganya harus membawakan makanan,” ungkapnya.
Ninik menambahkan, biaya pemilu serentak sangat tinggi.
Baca Juga:Mantan Kades Ciasem Tengah Divonis Tiga Tahun PenjaraCikao Park Hadirkan Area Baru Rumah Ilusi
Khususnya bagi para caleg. Biayanya lebih besar daripada saat Pemilu 2014. Sebab, jumlah TPS lebih banyak. Dengan jumlah TPS lebih banyak, caleg pun harus mengeluarkan uang lebih banyak.
Jika caleg tidak bisa membayar maksimal, kerja saksi pun tidak dapat maksimal. Tentu hal itu akan berdampak pada pengawasan di TPS maupun di PPK. Pengawalan suara juga tidak akan berjalan dengan baik. Selain biaya yang mahal, masa kampanye dinilai terlalu lama. “Bahkan, ada yang ngomong, kalau kampanyenya ditambah sebulan lagi, bisa-bisa banyak yang gila,” ungkap politikus PKB tersebut.
Ninik pun mengusulkan agar pemilu kembali ke sistem yang lama. Pileg dan pilpres dipisah. Tentu perubahan itu akan dilakukan melalui revisi undang-undang (UU). Dia berharap revisi UU Pemilu dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Jika sebelumnya setahun sebelum dilakukannya tahapan pemilu, ke depan mungkin lebih dari setahun.
Sementara, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid sepakat dengan perlunya evaluasi atas pelaksanaan pemilu serentak 2019. Hidayat menerangkan, salah satu tujuan pemilu serentak awalnya adalah menghemat biaya. Namun, kenyataannya, biaya yang dikeluarkan negara juga tetap tinggi. “Pileg dan pilpres dicampur dengan harapan biaya lebih rendah, ternyata penghematan tidak tercapai,” katanya.
Menurut Hidayat, perlu dikaji juga proses penyelenggaraan pemilu serentak yang membuat perhatian publik berat sebelah. Fokus publik selama kampanye delapan bulan Pemilu 2019 lebih banyak tersedot dalam kontestasi pilpres. Padahal, pileg sama penting dengan pilpres. “Selalu fokus pada pilpres. Tidak dicermati para caleg ini bagaimana kualitasnya, siapa mereka, sehingga belum terjadi penilaian yang objektif, yang serius (terhadap caleg, red),” ujarnya.