Oleh : Sumbo Tinarbuko,
Pemerhati Budaya Visual dan Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
Pelajaran untuk saling menghormati selalu didengungkan oleh siapa pun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat seorang manusia. Sikap saling menghormati dipahami sebagai sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang.
Pada tahun politik ini, sikap saling menghormati mulai pudar. Indikatornya terlihat manakala manusia diselimuti sifat ambisius membara. Mereka berkejaran untuk mendapatkan kursi kekuasaan sebagai pejabat publik. Lewat medsos segala cara ditempuh. Mereka bersekutu saling menghujat. Melalui sebaris tagar, mereka membunuh lawannya. Ujaran kebencian, berita bohong dan diksi nyinyirisme menjadi kemasan jahat untuk menelikung lawan.
Baca Juga:Satpol PP Diminta Tertibkan Pengemis JalananDispemdes Kabupaten Subang Gelat Perlombaan, Wujudkan Desa Unggulan
Mereka juga memelintir fakta menjadi opini demi mendapatkan dukungan masyarakat. Tujuannya satu. Mendapatkan jabatan publik yang diinginkannya. Seluruh catatan peristiwa pudarnya sikap saling menghormati dapat dilihat pada jejak digital pilpres dan pileg.
Mereka juga mengedepankan sikap egoisme pribadi dan kelompok dalam bentuk perilaku intoleransi dan diskriminatif. Kasus Slamet Jumiarto, seorang pelukis dan beragama Katolik di Pleret Bantul, menjadi representasi pudarnya sikap saling menghormati kepada sang liyan.
Seperti diwartakan Harianjogja.com (4 April 2019), meski akhirnya Slamet Jumiarto dibolehkan menempati rumah kontrakannya di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul. Tapi sebelumnya ia sempat ditolak karena ada peraturan desa yang bersifat diskriminatif. “Syukurlah masalah ini sudah selesai. Sudah klir. Kepala Dusun Karet, Ketua Pokgiat Masyarakat Karet, Pak Lurah, Pak Camat, dan masyarakat sudah menawarkan kami sekeluarga tinggal di sini,” terang Slamet seperti dikutip Harian Jogja (4 April 2019).
Realitas Semu
Pada tahun politik ini, naluri sosial saling menghormati secara tulus ditengarai mulai dilupakan oleh manusia yang terjebak pada sindrom ambisius, intoleransi dan diskriminatif.
Hal ini semakin tampak di pelupuk mata ketika sekelompok manusia rela dikondisikan untuk lebih menghargai realitas semu yang didedahkan tayangan televisi dan pergerakan linimasa medsos.
Mereka disihir mengadopsi gaya berpikir, gaya hidup serta gaya bicara yang diajarkan budaya layar: internet, televisi dan medsos. Kekerasan simbolik secara masif dikumandangkan melalui budaya layar. Mereka didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan.