Ideologi semacam ini bertentangan dengan proses hidup dan kehidupan yang sudah diguratkan dalam garis tangan setiap manusia. Penampakan visual semacam itu sejatinya representasi proses pendewasaan manusia.
Masalahnya, apa kata Ibu Pertiwi ketika sekelompok manusia lebih memercayai realitas semu yang diternakkan budaya layar. Sebab, realitas semu diyakini sebagai realitas maya bersifat fiktif. Keberadaanya merupakan tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal.
Realitas semu ditahbiskan oleh budaya layar sebagai sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat. Rupa wujudnya, antara lain: kekerasan verbal dan kekerasan visual. Pada era post truth, kekerasan simbolik berikut turunannya pelan namun pasti akan membentuk jati diri baru manusia Indonesia. Ketika hal itu tidak segera diantisipasi, maka efek dominonya dikhawatirkan akan tumbuh budaya kekerasan simbolik.
Hidup Bersahaja
Baca Juga:Satpol PP Diminta Tertibkan Pengemis JalananDispemdes Kabupaten Subang Gelat Perlombaan, Wujudkan Desa Unggulan
Pendeknya, sikap hidup saling memuja seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di jagat budaya layar, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak kuasa uang.
Kuasa kapital dalam konteks budaya visual menjadi representasi pemenuhan hasrat manusia, yakni hasrat purba mendapatkan sanjungan atas apa pun aktivitas yang mereka jalankan. Kuasa uang juga menjadi penanda visual seseorang dihormati secara artifisial.
Masalahnya kemudian, apakah seseorang akan dihormati oleh orang lain manakala ia mampu menunjukkan penampakan visual sebagai orang kaya? Jika hal itu menjadi persyaratan mutlak dalam hidup dan kehidupan patembayatan sosial, maka dengan segala cara, diperbolehkan melakukan perburuan harta benda, pangkat dan derajat. Hanya agar seseorang mendapat hormat.
Dengan demikian kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak zaman yang semakin anomali ini.
Benarkah demikian? Yang jelas, lewat ajakan saling menghormati dan menerima apa adanya, menghargai kebinekaan yang bersemayam di dalam hati dan pikiran manusia. Pada titik itu, kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri akan muncul. Artinya, kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya.