Oleh: Mohammad Ali, S.E
Mahasiswa Magister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Problematika jual beli jabatan di negeri ini tidak pernah absen. Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan kementerian agama beberapa waktu lalu menjadi salah satu contoh wajah buruk birokrasi Indonesia. Tentu, Ini bukan sekadar menempati posisi jabatan tertentu, tetapi juga masalah etika dan moral kepada bangsa. Jabatan itu sejatinya untuk melayani bukan menguasai.
Mirisnya, jual beli jabatan dianggap sebagai tradisi lama. Ini terbukti dari kasus jual beli jabatan sudah masif dan sistematis. Fenomena ini sangat menyedihkan, karena sukses tidaknya sebuah birokrasi negara, tercermin dari mental dan moral dari abdi negara itu sendiri. Ketika pejabat publik menganggap jabatan sebagai pengabdian, ini akan membawa birokrasi yang baik dan bersih dari korupsi. Sebaliknya, ketika jabatan diartikan sebagai mata pencaharian, maka ini akan merusak tatanan moral dan reformasi birokrasi yang sudah lama dibangun.
Dikutip dari detik.com 03/03/2019, disebutkan bahwa jual beli jabatan tidak hanya terjadi di kementerian agama yang baru ini terjadi. Data sebelumnya menunjukkan ada beberapa kepala daerah yang juga tersangkut kasus jual beli jabatan. Salah satunya Bupati Klaten, Sri Hartani, dengan kasus jual beli jabatan kepala sekolah SMP, SMA, mutasi serta promosi PNS di Setda hingga Kepala Dinas dengan nilai suap Rp 12,887 miliar dan divonis 11 tahun penjara.
Baca Juga:MUI Imbau Semua Pihak Jaga Kondusifitas, Tunggu Penetapan Hasil PemiluAli Mukadas Said Kejutkan Dapil 1
Taufiqurahman, Bupati Nganjuk dengan kasus jual beli jabatan posisi kepala SD, SMP dan SMA dengan nilai suap Rp 298 juta dan divonis 7 tahun penjara. Sunjaya Purwadisastra, Bupati Cirebon, dengan kasus jual beli jabatan Lurah, Camat dan Kepala Dinas dengan nilai suap Rp 100 juta untuk kepala dinas dan puluhan juta untuk lurah, ditetapkan tersangka oleh komisi pemberantasan korupsi pada 25 Oktober 2018.
Nyono Suharli Wihandoko Bupati Jombang dengan kasus jual beli jabatan Kepala Dinas Kesehatan dengan nilai suap Rp 275 juta dan vonis 3,5 tahun penjara. Ini sangat memilukan dan jauh dari nilai demokrasi, kalau sistem birokrasi ini tidak diperbaiki, maka ini akan sulit untuk memperbaiki masa depan negara yang seharusnya melayani masyarakat.