Oleh Dahlan Iskan
Ini tentang dua karakter yang berbeda. Orang yang berbeda. Negara yang berbeda. Kesamaannya: sama-sama bela negara.
Trump itu petinju. Tapi bukan Mohamad Ali. Yang bisa menari-nari di atas ring. Yang bisa seperti kupu-kupu. Mungkin lebih seperti Mike Tyson: force! Sesekali gigit kuping.
Xi Jinping itu pemain poker. Sabar. Diam. Ekspresi wajahnya tenang. Gejolak pikirannya tidak terbaca di gerak tubuhnya. Gelora jiwanya tidak terlihat di wajahnya.
Petinju terbiasa ingin tahu hasilnya. Segera. Saat itu juga.
Pemain poker terbiasa terlihat kalah di prosesnya. Asal menang di akhirnya.
Itulah sebabnya Xi Jinping tetap kirim Liu He ke Washington. Di saat siapa pun pasti marah. Ketika tiba-tiba Presiden Donald Trump belok tidak di tikungan. Sambil menghunjamkan jab lewat Twitter. Ahad lalu. Di saat proses perundingan perang dagang sebenarnya tinggal sekali lagi. Sudah memasuki pertemuan terakhir. Yang ke 12. Yang jadwalnya dimulai Kamis lalu. Berakhir Jumat tadi malam. Waktu Amerika.
Baca Juga:Akhirnya, Baligo Ucapan Kemenangan Prabowo-Sandi DitertibkanDua Pria Diduga Pengedar Ditangkap, Kedapatan Miliki 0,23 Gram Sabu
Trump tiba-tiba memutuskan tidak perlu lagi lanjutkan perundingan. Saat juru runding Tiongkok sudah berkemas akan meninggalkan Beijing. Trump langsung saja menaikkan tarif bea masuk barang Tiongkok. Senilai sekitar Rp 3.000 triliun. Dari 10 persen menjadi 25 persen. Seperti ancamannya dulu.
Dengan putusannya itu Amerika bisa mendapat tambahan pemasukan hampir Rp 1.000 triliun. Setiap tahun. Tentu belum dihitung kehilangannya: kalau Tiongkok ternyata membalas.
Mengenakan tarif yang sama. Seperti dulu-dulu juga. Ditambah mengurangi impor barang dari Amerika. Apalagi kalau yang dikurangi itu impor jagung dan kedelai. Lebih lagi, nanti-nanti, pembelian pesawat.
Menteri perdagangan Tiongkok memang sempat bicara keras: akan terpaksa membalas keputusan Trump itu. Terpaksa. Tapi Tiongkok buru-buru menjelaskan bahwa yang diucapkan menteri perdagangan itu bukan sikap resmi pemerintah.
Tiongkok tidak ingin terlihat reaktif. Masih berharap siapa tahu ada twitter baru. Yang tiba-tiba.
Sebetulnya Trump memang lagi dalam suasana kalut di dalam negeri. Saat twitter itu diunggah. Ia sebenarnya lagi ingin menyerang lawan politiknya: Joe Biden. Mantan wakil presidennya Barack Obama. Yang sudah menyatakan akan jadi pesaing Trump. Akan maju di Pilpres dua tahun lagi. Minggu lalu Biden mengkritik kebijakan Amerika soal Tiongkok.