Oleh : Maksun
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang
Ada fenomena di masyarakat kita yang sangat menarik, (karena) lucu, (dan) tapi lumayan berbahaya, yakni terpisahnya kesale¬han individual dan kesalehan sosial.
Di sisi lain, muncul pula simbol-simbol agama yang dijadikan garansi, seolah bila seseorang telah melakukan aktivitas ritual keagamaan tertentu, seperti salat, puasa, haji, dan ibadah yang bersifat ‘pribadional’ lainnya, dia merasa hidupnya sudah memperoleh jaminan kesucian.
Fenomena ini sangat tampak pada masa kampanye Pilpres tempo hari, bahkan berlanjut hingga Pilpres usai. Karena itu, tidak jarang kita menjumpai seseorang yang secara individual sangat saleh tetapi secara sosial melakukan black campaign, money politics, suap, korupsi, bersikap intoleran terhadap sesama, melancarkan aksi sebar hoaks, dan berbagai bentuk kezaliman lainnya.
Baca Juga:Honorer Meminta Kejelasan Status, Proses Regulasi Capai 90 %Muslimat NU Tangkal Hoax hingga Ranting
Kini, dalam bulan Ramadan, umat Islam kembali diwajibkan menunaikan ibadah puasa dan dianjurkan memperbanyak amal saleh. Sebagaimana sebelumnya, aktivitas keagamaan di bulan suci ini akan tampak semarak dengan berbagai aktivitas.
Seiring dengan meningkatnya aktivitas keagamaan di negeri ini, kian meningkat pula kualitas dan kuantitas tindak kriminal serta penegasian nilai-nilai moral di berbagai lapisan masyarakat. Hampir setiap hari berita utama media massa dihiasi oleh kabar kezaliman sosial berbagai bentuk. Ironisnya, banyak dari para pelaku tindak kekerasan itu yang mengklaim dirinya sebagai muslim.
Dalam konteks inilah, di bulan yang penuh berkah ini, kita harus mencermati kembali ‘keberpuasaan’ sekaligus keberagamaan selama ini agar puasa benar-benar transformatif dan fungsional sekaligus reformatif terhadap perilaku sehari-hari. Ini sungguh penting karena Nabi SAW telah memberikan early-warning bahwa “Sekian banyak orang menjalankan puasa, akan tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga”.
Ada sebuah penilaian bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh bagaimana dia memandang dan memahami ajaran agamanya. Karena itu, kita sering menemukan berbagai analisis dan pembahasan ilmiah tentang perilaku umat manusia, terutama perilaku sosial, ekonomi, dan politik.
Penilaian itu, secara teoritis dan intelektual, memperoleh legitimasi dari beberapa tesis para ilmuwan seperti Max Weber, Clifford Geert atau Robert N. Bellah. Para ilmuwan itu misalnya, mengatakan dan membuktikan bahwa perilaku sosial yang mendukung pertumbuhan usaha modern selalu mempunyai akar-akar dalam ajaran agama, yang melahirkan dimensi-dimensi moral dan etik.