Dari berbagai tesis itu kita juga memperoleh informasi bahwa keberhasilan dari sistem ekonomi dan poli¬tik bangsa justru sangat jelas berhubungan erat dan tergantung pada kuat dan lemahnya sistem etika bangsa yang bersangkutan.
Di sinilah posisi agama cukup signifikan dan sentral, mengingat tak satu pun agama yang dianut oleh manusia yang tidak mengajarkan etika tentang bagaimana hidup yang baik, penuh cinta, kasih, dan sayang serta mengatur bagaimana cara berinteraksi dengan sesamanya dalam bermasyarakat.
Persoalannya, ada pemahaman yang salah mengenai doktrin agama yang hidup di masyarakat kita. Agama hanya dipahami sebagai pengatur perilaku individu se-seorang terhadap Tuhannya (hablun minallah). Agama hanya dipahami untuk memuja dan memuji keagungan Tuhan. Alhasil, segala sesuatu bisa dilakukan atas nama dan demi keagungan Tuhan.
Baca Juga:Honorer Meminta Kejelasan Status, Proses Regulasi Capai 90 %Muslimat NU Tangkal Hoax hingga Ranting
Dari pemahaman ini muncul suatu sikap rasa takut dan berdosa ketika melanggar atau melakukan larangan ritual yang bersifat ‘pribadional’ terhadap Tuhan. Anehnya, sikap keras itu tidak berlaku ketika seseorang melakukan dosa-dosa sosial yang sifatnya horizontal, tidak berhubungan langsung dengan Tuhan (hablun minannas).
Padahal dalam agama, apabila seseorang telah berdosa secara individual terhadap Tuhan, dia cukup memohon ampun (bertobat) dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Namun apabila melakukan dosa sosial, misalnya korupsi, yang nyata-nyata merugikan banyak orang, dosanya tidak akan diampuni sebelum meminta ampun dan mengakui atas kezaliman sosial terhadap yang dizalimi.
Di sisi lain, agama tanpa tanggung jawab sosial sama saja dengan pemujaan belaka. Tak perlu seseorang berpuasa misalnya, jika tanpa dibarengi tanggung jawab sosial. Sebab, agama bukanlah pelarian semu dan dalih untuk mencari ketenteraman spiritual semata. Agama juga bukan hanya menjadi urusan individu untuk mendapatkan ketenangan dan menjadi media penebus dosa.
Puasa Transformatif
Ibadah puasa memang dikenal dengan sifatnya yang sangat ‘pribadional’. Namun bukan berarti puasa hanya berdimensi individual-teologis belaka tanpa dimensi sosial. Nabi SAW mengingatkan: “Betapa banyak orang berpuasa tapi sia-sia belaka, mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga, lantaran mengabaikan etika sosial atau melakukan dosa sosial”.