Artinya, jika sikap mudah mendakwa, mengklaim, memvonis, memojokkan, menghujat, menghina, memprovokasi, meneror, merasa paling benar dan konstitusional, bersikap intoleran, anarkis, dan sikap kerdil lainnya terhadap sesama, yang jelas-jelas berlawanan dengan esensi dan makna transformatif dari nilai ibadah puasa, masih saja subur dalam diri sang muslim, puasa itu tak akan membuahkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga. Dan itu berarti kekalahan, bukan keme¬nangan.
Dalam kehidupan masyarakat yang kini lebih didominasi corak solidaritas organis, meminjam istilah Emile Durkheim, di mana hubungan antarsesama lebih diorientasikan kepada vested of interest maka melalui ibadah puasa umat Islam dapat menarik tali hubungan sosial yang sudah kebablasan itu ke dalam koridor yang harmonis atas dasar persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), kesamaan (al-musawah), dan keadilan (al-‘adl).
Ketika kualitas kesenjangan sosial cenderung menguat antarlapisan sosial, dan orang-orang rentan teralienasi secara struktural dan kultural maka melalui ibadah puasa yang transformatif, umat Islam dituntut mengembangkan kepedulian dan solidaritas sosial yang manusiawi sebagai implementasi dari pesan luhur Nabi SAW: “Tidak beriman seseorang, jika dia tidur nyenyak karena kekenyangan, sementara tetangganya dibiarkan menggelepar kelaparan”.
Baca Juga:Honorer Meminta Kejelasan Status, Proses Regulasi Capai 90 %Muslimat NU Tangkal Hoax hingga Ranting
Dengan demikian, puasa transformatif mendorong kita untuk selalu introspeksi dan meningkatkan kualitas diri. Puasa transformatif tidak hanya membudayakan puasa seremonial-formal yang biasa dihiasi dengan membludaknya budaya konsumerisme mengiringi buka puasa dan menjelang hari raya.
Puasa transformatif bukan hanya menciptakan pribadi yang tahan lapar dan haus tetapi tanpa daya untuk mengubah diri menjadi pribadi yang kukuh di saat Ramadan berlalu.
Puasa tranformatif adalah puasa yang membuat kita lebih baik dan tekun dalam beribadah, membuahkan sense of crisis dan sense of aware terhadap si miskin dan kaum yang tertindas, dan bisa menciptakan kedamaian, toleransi dan harmoni antar sesama umat maupun antarumat beragama.
Puasa transformatif pascapilpres mampu menjadikan Ramadan sebagi ajang untuk saling memaafkan, merajut kembali jiwa-jiwa yang terkoyak, karena beda pilihan menuju rekonsiliasi yang fitri dan sejati. Tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada adalah 03, yakni Persatuan Indonesia. Semoga!