SUBANG-Linguis jebolan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Sansan Yuliansyah SPd M.Hum mengomentari mengenai wacana people power yang tengah ramai diperbincangkan.
Menurutnya, people power dalam bahasa adalah kekuatan rakyat. Memaknai “People Power” sangatlah flexibel, tidak bisa dipandang dari satu sudut, dalam hal ini konteks cukup berperan besar.
“Jika menengok kebelakang istilah people power sudah lama ada di dalam dunia pergerakan, istilah ini sering diinterpretasikan sebagai sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak berpihak kepada kata keadilan. Gerakan 1986 di Filipina dan 1998 di Indonesia, merupakan salah satu kejadian yang di interpretasikan sebagai people power,” ungkapnya kepada Pasundan Ekspres.
Baca Juga:Sekwan: Tolak Tegas Aksi People PowerPedagang Kue Lebaran Keluhkan Harga Telur
Dia mengatakan, saat ini people power ramai diperbincangkan di Indonesia, hal ini efek dari Pilpres yang belum lama ini diselenggarakan. Dalam konsep negara demokrasi setiap orang berhak menyampaikan sebuah pendapat dan hal ini dijamin oleh undang-undang.
“Perlu diketahui jika konsep “People Power” merujuk kepada kejadian di atas berarti interpretasinya adalah sebuah protes keras kepada birokrasi, yang menurut salah satu pihak dirasa tidak adil. Apakah itu sah secara konstitusi? Apabila selama dalam menyampaikan protesnya tertib dan tidak melawan aturan, tidak menjadi persoalan,” jelasnya.
Namun, kata dia, apabila people power dimaknai sebagai sebuah gerakan revolusioner, hal inilah yang dilarang secara konstitusi. Menurutnya, istilah people power saat ini cenderungan dimaknai sebagai revolusi.
Pengertian tersebut dalam KBBI artinya perubahan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasaan (seperti perlawanan bersenjata).
“Memaknai people power dan membandingkannya dengan revolusi adalah dua hal yang sangat jauh, apalagi dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini,” katanya.
Dia menyarankan, dalam memaknai people power yang saat ini ramai diperbincangkan untuk lebih kritis dalam menyikapinya, hal ini juga dapat menyebabkan perpecahan yang berkepanjangan didalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Oleh karenanya pakar bahasa, hukum dan komunikasi harus lebih aktif berperan dalam memaknai kejadian-kejadian saat ini. Sehingga dapat terdeteksi apabila ada penyimpangan ideologi, seharusnya ini menjadi tugas Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), untuk meluruskan hal-hal seperti ini. Serta di tubuh BPIP sendiri harusnya adalah orang-orang independen, tidak berpihak kepada golongan,” bebernya.