Aura positif ini merupakan emanasi dari jiwa spiritualitas yang bersifat mistik. Makna-makna ini sangat identik dengan falsafah hidup Ki Sunda yang memiliki visi dan misi untuk hidup “silih asah, silih asih, silih asuh dan silih wangikeun”.
Di tengah gempuran nama-nama baru yang terkesan modern, nama Asep bagi orang Sunda tetap memiliki kesan kebudayaan yang mendalam. Kesan Ini kemudian melahirkan sintesa kebudayaan baru dimana orangtua menambahkan harapan-harapan lain yang disandingkan dengan nama Asep.
Lahirnya nama Asep Gunawan, Asep Sunandar Sunarya, Asep Salahudin, adalah contoh menarik yang masing-masing termuat do’a dan harapan besar yang disematkan orangtua pada anak yang bernama Asep. Harapan besar inilah yang melahirkan tagline “Ti Asep, Ku Asep Keur Balarea” yang menjadi semangat pendirian Komunitas Asep Asep (KAA).
Keur Balarea
Baca Juga:Petani Tambak Dapat Bantuan Benih IkanKompol Sirat Harsono : Jangan Pernah Lelah Bertugas
Komperensi Asep Asep (KAA) telah mensepakati empat misi program yang diambil dari akronim nama Asep, yakni (A)gama, (S)osial, (E)konomi dan (P)elestarian budaya Sunda. Dalam bidang agama, Asep harus bisa menunjukan jati diri sebagai sosok agamis yang berakhlaqul karimah.
Dalam bidang sosial, Asep harus memposisikan diri sebagai sosok yang bermakna bagi lingkungan sosialnya. Dalam bidang ekonomi, Asep harus menjadi sosok yang kuat secara ekonomi sehingga mampu mengangkat kesejahteraan bagi lingkungannya. Dan dalam bidang pelestarian budaya, Asep harus menjadi sosok yang dekat dengan budaya ibunya, yaitu Sunda, untuk selanjutnya menjadi juru kampanye pelestarian budaya Sunda.
Walaupun baru sebagai program, setidaknya terselip tekad untuk memaknai hidup berdasarkan harapan nama yang disematkan. “Ti Asep, Ku Asep Keur Balarea” mengandung arti siapapun yang bernama Asep harus memiliki manfaat bagi dirinya, keluarganya dan lingkungan sekitarnya.
Semakna dengan hadits Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memiliki manfaat bagi manusia yang lainnya”. Asep identik dengan Sunda, dan Sunda identik dengan Islam. Putaran dialektika Asep, Sunda dan Islam, harus bisa dibumikan, bukan hanya di tatar Sunda melainkan juga di tatar nasional dan internasional.