Oleh: Mega Elisa Hasyim, S.Ked
Alumni S1 Pendidikan Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Anak adalah generasi yang dipersiapkan menjadi penerus bangsa. Untuk dapat menjadi pemimpin terlebih dahulu harus dapat memimpin diri sendiri. Oleh karena itu pendidikan karakter pada anak perlu ditanamkan sedini mungkin.
Pendidikan dalam keluarga menjadi pondasi dalam berpikir dan bersikap di masyarakat. Salah satu yang perlu ditanamkan dalam pendidikan keluarga adalah pendidikan literasi. Dapat membaca, menulis dan berhitung bukanlah tujuan utama, namun salah satu landasan dalam memperoleh tujuan yang lebih luas yaitu mewujudkan generasi yang mampu berpikir dan bersikap kritis dan logis.
Namun pada kenyataannya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak masih sangat rendah. Menurut World’s Most Literate Nations Ranked pada tahun 2016 terhadap minat baca di 61 negara, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen atau menempati peringkat ke-2 terendah setelah Botswana, Afrika Selatan. Sedangkan minat baca tertinggi adalah negara Finlandia.
Baca Juga:Grand Opening Fakultas Ilmu AdministrasiMain Korek Api Rumah Terbakar
Minat baca anak Indonesia juga tak kalah rendah yaitu 0,01 persen atau hanya 1 dari 10.000 anak suka membaca. Lagi, berdasarkan data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang dirilis pada tahun 2016, kemampuan membaca, berhitung dan pengetahuan sains anak Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia dan Thailand. Menurut penelitian The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizatio (UNESCO) pada tahun 2014, rata-rata anak Indonesia hanya membaca 27 halaman buku per tahun. Berbeda dengan anak-anak di Finlandia yang rata-rata membaca 300 halaman dalam waktu lima hari.
Kenyataan demikian sungguh memilukan. Indonesia bukanlah negara yang terbelakang. Dalam beberapa aspek Indonesia lebih unggul dibandingkan beberapa negara lain. Namun tingkat literasi perlu menjadi perhatian bersama. Rendahnya minat literasi anak mengakibatkan kurangnya ide dan pendapat dalam berargumentasi secara kreatif dan inofvatif. Akibat lebih parahnya kelak anak tidak mampu mengatasi masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya di dalam masyarakat selama kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Tempat pendidikan pertama bagi anak adalah keluarga. Oang tua berperan sebagai guru dan partner diskusi pertama bagi anak. Namun sebagai role model, sebagian besar orang tua di Indonesia belum bisa menjadi model yang baik dalam kegiatan literasi dini. Sebagian besar orang tua lebih senang menonton televisi dari pada membaca buku. Sehingga tidak heran jika anak mengadaptasi kebiasaan orang tua.