Menurut teori sosiokultural, anak dapat belajar cepat dari lingkungan. Ketidaktersediaan buku di rumah hingga kurangnya quality time bersama anak karena orang tua sibuk bekerja juga menjadi alasan mengapa orang tua kurang mengembangkan kegiatan literasi pada anak.
Hal ini diperparah dengan keberadaan gadget terutama smartphone. Orang tua lebih memilih memperkenalkan smartphone di usia dini dibandingkan buku. Sehingga tidak sedikit anak lebih tertarik bermain smartphone dibandingkan kegiatan literasi.
Menurut survei yang dilakukan The United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2014 Indonesia berada pada peringkat lima besar negara pengguna gadget, khususnya smartphone. Bila dilihat dari komposisi usia, pengguna gadget kategori anak dan remaja di Indonesia cukup tinggi yaitu 79,5 persen. Hal ini sangat berbanding terbalik dimana Indonesia yang menduduki peringkat tinggi dalam penggunaan gadget namun berada pada peringkat yang rendah dalam literasi.
Baca Juga:Grand Opening Fakultas Ilmu AdministrasiMain Korek Api Rumah Terbakar
Sekolah juga turut andil dalam rendahnya minat literasi anak. Selama menempuh pendidikan dasar selama 12 tahun, anak hanya perlu membaca sekilas buku pelajaran dan lulus dalam ujian untuk tamat sekolah. Kurikulum yang tidak tegas mencantumkan kegiatan literasi sebagai kewajiban menyebabkan setelah tamat sekolah pun kebiasaan litersi anak masih kurang.
Hal ini diperparah dengan tidak tersedianya perpustakaan umum di beberapa kota di Indonesa. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil sensus perpustakaan yang dilakukan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) pada tahun 2018, dimana rasio ketersediaan perpustakaan di Indonesia masuk ke dalam kategori kurang mencukupi. Koleksi buku di perpustakaan di Indonesia juga belum mencukupi. PNRI juga mengungkapkan tingkat kunjungan perpustakaan di Indoneisa jauh dari ideal yaitu hanya 0,02% penduduk yang mengunjungi perpustakaan per hari.
Kita sudah mengetahui betapa rendahnya literasi anak Indonesia. Perbaikan literasi harus segera dilakukan. Sejumlah pihak seperti pemerintah, sekolah, serta keluarga harus turut andil. Meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menjadikan literasi sebagai budaya anak Indonesia, kita harus tetap optimis peringkat minat literasi anak Indonesia dapat meningkat dibandingkan peringkat tahun sebelumnya.
Pertama, pemerintah khususnya pemerintah daerah harus berupaya menggagas program satu kecamatan satu perpustakaan untuk membantu meningkatkan minat baca anak. Karena perpustakaan adalah salah satu bentuk investasi bangsa. Selain itu pemasangan iklan untuk memotivasi kegiatan literasi anak perlu digencarkan. Dalam memperingati hari anak nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli pemerintah dapat membagikan buku bacaan sesuai usia kepada anak anak.