Oleh : Fadhla Khanifa, S.Pd
Tentor di Bimbingan Belajar Excellent
Gaung kata literasi mungkin sudah membumi. Namun, apakah sudah dimaknai dan dijiwai secara tepat? Versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V kata literasi berarti kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Sebagai masyarakat modern, mengerti dan paham arti sebuah kata tak akan mengubah apa-apa. Tindakan sebagai gol akhir merupakan hal terpenting terutama di sekolah. Demikian halnya dengan literasi. Pencanangan Gerakan Literasi Nasional (GLN) oleh pemerintah terkhusus untuk siswa merupakan terobosan baru mengingat kemampuan membaca dan menulis siswa masih di bawah rata-rata.
Aneh Tetapi Nyata
Jensen (dalam Deporter, dkk., 2010:145), “Ilmuwan saraf mengatakan bahwa 90 persen masukan indra untuk otak berasal dari sumber visual dan otak mempunyai tanggapan cepat dan alami terhadap simbol, ikon, dan gambar yang sederhana dan kuat.” Dengan demikian, keterampilan membaca dan memahami isi dari apa yang dibaca merupakan bagian vital bagi anak ketika belajar.
Baca Juga:Camat Pusakanagara serta Danramil Beri Kejutan Kapolsek PusakanagaraTernak Tikus untuk Pakan Ular
Berlebihankah jika kita mengatakan bahwa literasi musuh kita? Jikalau membaca memang penting, mengapa anak-anak tidak menjadikan kebiasaan membaca? Jawaban untuk pertanyaan inilah yang termasuk aneh. Kita dapati dan temukan bahkan mengalaminya sendiri. Kita tahu dampak negatifnya namun tidak mencarikan solusinya
Akibatnya? Prestasi belajar siswa tidak sebaik yang kita harapkan meski telah diupayakan dan disusun berbagai strategi. Apa penyebab dan dimana letak kesalahannya? Jawabannya pasti kita tahu. Kemampuan literasi anak-anak sekarang sangat rendah. Kesalahan itu terletak pada kita yang tidak memprioritaskan budaya membaca. Akibatnya?
Baksin (2008:5) memuat bahwa kemampuan literasi anak-anak Indonesia telah lama juga dianalisis oleh sastrawan Indonesia, Taufik Ismail. Jika siswa SMA di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMA di negara-negara tetangga—seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam—menamatkan membaca 5-7 judul sastra, siswa SMA di Indonesia setelah era AMS Hindia Belanda—adalah 0 buku.