Oleh: Ahmad Kholikul Khoir
Mahasiswa S1 Program Studi Psikologi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta
Setelah terjadi perdebatan panjang perihal kebijakan zonasi. Dunia pendidikan kembali dihebohkan oleh seorang praktisi pendidikan, Setyono Djuandi Darmono yang menyarankan agar Presiden Jokowi menghapus mata pelajaran Pendidikan Agama dari sekolah. Dan menggantinya dengan mata pelajaran budi pekerti. Beliau beranggapan bahwa mata pelajaran budi pekerti lebih tepat untuk memperkokoh sikap toleransi dan kebhinekaan siswa. Sedangkan pendidikan agama di sekolah justru dianggap telah menciptakan perpecahan pada kalangan siswa, sikap radikalisme, intoleransi, bahkan politik identitas.
Bagaimanapun, usulan tersebut sangatlah tidak tepat, karena bertentangan dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 12 (1) butir a, yang berisi “amanat agar setiap siswa memperoleh pendidikan agama…” dan tentunya Pancasila (Ketuhanan yang maha esa). Selain itu, keberadaan pendidikan agama di sekolah juga sangat berperan bagi kehidupan siswa. Sebagaimana penelitian di Inggris, (2017) oleh National Assosiation of Teachers of Religious Education (NATRE) menunjukan bahwa tanpa adanya mata pelajaran agama di sekolah, dapat menjadikan siswa tidak siap dalam menghadapi kehidupan modern.
Baca Juga:Gudang Kayu PTPN VIII Ludes TerbakarPolsek Purwadadi Sosialisasikan Tertib Lalulintas ke Sekolah
Tak bisa dipungkiri, meskipun Undang Undang tersebut telah di implementasikan di setiap sekolah, tapi masih banyak pelajar yang mempunyai sikap intoleran dan paham radikal yang berlandaskan ajaran agama – tentunya ajaran agama yang keliru.
Sebagaimana penelitian Mata Air Foundation dan Alvaro Research Center (2017) mengungkap bahwa terdapat 23,3 persen pelajar SMA yang setuju dengan jihad demi tegaknya negara islam (khilafah islamiah). Namun, hal ini disebabkan oleh karena guru-guru yang masih mempunyai paham intoleran dan radikal.
Sebagaimana survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menyebutkan, terdapat 11,70 persen guru memiliki opini yang radikal secara eksplisit dan 2,58 persen secara implisit.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat terlihat bahwa yang belum tepat bukan pada mata pelajaranya, namun pada gurunya. Selain itu, terdapat masalah yang lebih besar; masalah sistem pendidikan. Singkatnya, pendidikan di Indonesia cenderung fokus pada aspek kognitif namun abai perihal praktik. Sehingga hanya mencetak orang yang pandai bicara agama, namun kosong dalam melaksanakan perintah agama. Misalnya, Hampir setiap guru mengajarkan bahwa dalam agama di perintahkan untuk tolong menolong dalam kebaikan. Lantas, sudahkah banyak guru yang mengajak siswanya untuk berkunjung ke rumah temanya yang sedang sakit? Maka tidak heran, jika dikemudian hari mereka menjadi pemimpin dan agamawan yang “Jarkoni” (biso ujar ora biso nglakoni).