Masyarakat awam kebanyakan tidak mengerti khasiat obat yang mereka konsumsi, apalagi memahami dampak berbahaya dari penyalahgunaan obat. Seperti kasus yang pernah menggemparkan di Kendari tahun 2017, Pil Paracetamol, Caffeine, dan Carisoprodol (PCC) ternyata beredar bebas bahkan dijual ke anak sekolah dengan harga Rp 25 ribu per 20 butir. Akibatnya, puluhan orang mengalami kejang-kejang dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Generasi muda pun yang akrab kesehariannya dengan instagram dapat menjumpai Cytotec atau misoprostol dengan tagar #obatantihamil, dsj. Padahal, penggunaan obat keras ini sesungguhnya bukanlah untuk menggugurkan kandungan, melainkan obat tukak lambung. Akibatnya pun sangat fatal yakni menimbulkan perdarahan hingga berujung kematian akibat penggunaan yang tak semestinya.
Oleh karena itu, perlu ditekankan kembali melalui kegiatan edukasi tentang ada beberapa tanda golongan obat yang perlu dikenal oleh masyarakat. Pertama, Obat bebas (Obat Over The Counter /OTC). Golongan ini bisa dibeli tanpa resep dokter dan bisa dijual di apotek maupun toko obat, contohnya parasetamol. Kedua, Obat bebas terbatas. Golongan ini sebenarnya termasuk obat keras, namun hingga batas tertentu bisa diperoleh di apotek tanpa resep dokter.
Baca Juga:Untuk TPA, Pemkab Siapkan Lahan 100 Hektare LahanPemdes Karanganyar Berharap Solusi Selamatkan Sawah
Ketiga, Obat keras yang disebut juga obat golongan G (gevaarlijk: berbahaya) atau Ethical. Semua jenis psikotropika dan antibiotik termasuk dalam golongan ini. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, hanya bisa dibeli dengan resep dokter. Keempat, Narkotika. Distribusi obat dalam golongan ini diawasi secara ketat karena rawan penyalahgunaan sehingga hanya bisa dibeli dengan resep asli.
Bagaimana pun, penjualan obat keras secara bebas baik di online, apotek, toko obat maupun warung adalah tindak penjualanan obat ilegal. Sehingga, siapapun yang melakukannya harus ditindak tegas dan dijatuhi tindak pidana oleh undang-undang. Inti permasalahan penjualanan obat ilegal ini terletak pada sistem pendistribusian obat ke masyarakat. Menurut pandangan penulis, langkah yang dapat diambil oleh pemerintah yakni merevisi undang-undang terkait pendistribusian obat ke tangan konsumen mengingat urgensi yang terjadi saat ini. Pemerintah dapat menempuh langkah dengan memberlakukan mekanisme pendistribusian obat satu pintu dimana obat-obat keras ini hanya dapat diperoleh di puskesmas maupun rumah sakit. Sebab pengendalian obat di puskesmas dan rumah sakit lebih mudah tuk diawasi.