PURWAKARTA-Sejumlah Kepala Desa di Kecamatan Bojong, mengaku gamang mengutip retribusi dari sektor perkebunan. Padahal guna peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes) dari sektor perkebunan, terutama dari komoditas cengkih, teh dan hasil kayu gelondongan, menjadi komoditas andalan warga di Kecamatan di kaki Burangrang.
Hal tersebut, terungkap saat Pasundan Ekspres mempertanyakan PADes Sindangsari, dari sektor cengkih seberapa besar kontribusinya bagi kemajuan Pembangunan Desa?
“Kalau untuk warga secara perorangan, rata-rata di sini warga memiliki pohon cengkih, pala, dan teh sebagai sumber pendapatan dan mata pencaharian. Perbandinganya 30-70 persen dari total penduduk 1017 KK atau 3.600 jiwa lebih,” kata Kades Sindangsari Rahmat Efendi, Rabu (31/7).
Menurutnya, tingkat kesejahteraan bagi warga Sindangsari, bisa disebut di atas rata-rata. “Hal itu ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan papan Bangunan, yang mudah ditemui hingga ke sudut sudut perkampungan,” imbuhnya.
Baca Juga:Pemkab bersama PGN Akan Pasang Jaringan Gas ke 5.400 Rumah Warga SubangBupati Purwakarta: ASN Ikut HTI Tidak Akan Naik Jabatan
Akan tetapi, soal PADes yang dikutif dari retribusi komoditas perkebunan itu masih sangat minim. Penyebabnya, Pemdes tak punya payung hukum yang secara legal mengatur regulasi soal retribusi hasil perkebunan itu.
“Kalau selama ini ada pun, sifatnya masih situasional. Seperti misalnya jika ada peringatan hari besar keagamaan atau kenegaraan 17 Agustusan. Selain itu kita acapkali gamang,” tandas Rahmat lebih lanjut.
Kondisi serupa juga dihadapi Pemdes Sindang Panon. Bahkan di desa yang memiliki wilayah paling luas di Kecamatan Bojong ini, pungutan retribusi bagi hasil kebun seperti hasil cengkih dan teh, serta pala dan kayu gelondongan bahkan dihapus oleh kebijakan Kades Denden Pranayudha.
“Kalau soal retribusi dari hasil perkebunan atau hasil penjualan cengkih milik warga di sini sejak saya menjabat sudah dihapuskan,” terang Denden Pranayudha Kades yang sempat dijuluki Kades termuda di Bojong itu.
Meskipun kini ada, kata Denden, sudah bersifat kesadaran kolektif, sebab yang menangani soal itu hanyalah ketua RW setempat. “Hasilnya untuk kegiatan kegiatan warga ditingkat RW,” imbuh Denden.
Bahkan Kades, Sindangpanon mengistilahkan retribusi hasil kebun seperti dari cengkih dan pala, kerap dicap memburu uang japrem.
“Besarnya tak seberapa, hanya Rp 2.000 per pohon, yang berproduksi paling minim. Sementara gunjingan warga lebih dari itu. Ya kita hapus saja, toh eksistensi Pemdes tetap jalan,” ungkapnya.