Aling melanjutkan, kisah jaman dahulu yang terjadi di Tangkuban Parahu juga pernah dialami pedagang yang tengah menunggu pembeli. Pedagang tersebut mengaku melihat sesosok penunggang kuda misterius yang tiba-tiba langsung menghilang.
“Si penjaga warung itu bilang ‘mudah-mudahan aya jurig tumpak kuda (ada jin naik kuda)’ karena warungnya sangat sepi. Tak disangka, ternyata datang seperti orang naik kuda, setelah mendekat ke warung, penunggang kuda itu lalu menghilang,” ungkapnya.
Menurut Aling, aturan yang harus ditaati pengunjung maupun pendaki di Tangkuban Parahu adalah menjaga sopan santun, jangan sompral, tidak membunuh satwa liar sekitar hutan serta patuh terhadap adat istiadat warga setempat.
Baca Juga:Ridwan Kamil Beberkan Manfaat KDLN untuk Kemajuan Jawa BaratSekolah Taekwondo Siapkan Atlet Berprestasi
Terlepas dari mitos dan cerita mistis yang terjadi, warga setempat percaya jika Tangkuban Parahu hingga kini masih angker. Oleh karena itu, komunitas adat di sekitar kaki gunung masih memegang teguh warisan karuhun dengan rutin mengadakan ruwatan dan tolak bala agar dihindarkan dari marabahaya.
“Orangtua jaman dulu sering mengadakan tradisi ruwatan di Kawah Ratu dengan membawa berbagai sesajen seperti rujak kelapa, pisang, roti, candil, sayur kelor, ayam bakakak, tumpeng dan lain-lain, tepatnya di malam Selasa dan malam Jumat Kliwon,” tuturnya.
Namun seiring perkembangan jaman, kepedulian terhadap alam dan kepercayaan menjaga warisan budaya sebagai penghormatan terhadap penguasa gunung dan hutan semakin habis terkikis. “Ruwatan adalah tradisi kepercayaan nenek moyang sejak jaman dahulu. Bukan bentuk kemusyrikan, karena tidak ada Tuhan selain Allah yang patut disembah,” tambahnya. (eko/sep)