Ya, pemuda itu: M. Fahmi Fasya. Begitu giat menyalakan semangat membaca. Saya pernah merayunya untuk menjadi wartawan. Saya ingin punya wartawan yang gemar membaca dan punya semangat literasi seperti dia.
Fahmi tidak menolak, tapi dia lebih memilih aktif di gerakan literasi. Sambil membantu mengembangkan media internal di perusahaan BUMN di Subang. Tahun 2015 saya mencoba mengenalkannya dengan pegiat literasi lainnya.
Selebihnya saya hanya mengikuti dari status facebook-nya. Dia tunjukkan perpustakaan yang diberi nama Taman Baca Rumah Ilmu (TBRI) terus berkembang. Dia punya akses untuk mendapat sumbangan buku-buku. Saya ikut senang.
Baca Juga:Mengenal Probarz, Produk Makanan Ringan Bernutrisi Tinggi Hasil Penelitian LIPI SubangAuto 2000 Hadir di Cikampek, Layani Konsumen di Purwasuka
Kalau tidak salah, tak pernah sekalipun Fahmi membuat status ‘sakit’. Saya hanya melihat kebahagiaan. Sesekali posting foto mesra bersama istrinya.
Lalu, tiba-tiba saya kaget mendengar kabar duka. Fasya, pejuang literasi itu telah pergi. Memang kita kadang mengenang jasa dan memujinya setelah tiada. Ibarat lirik sebuah lagu: kalau sudah tiada, baru terasa.
Sama seperti sahabat dan saudara saya sebelumnya. Chrone alias penyakit di usus, selalu mengintai, memperdaya tubuh perlahan. Kadang disepelekan. Padahal mematikan. Saya sudah tiga kali kehilangan orang-orang terbaik. Jangan ada lagi yang pergi.
Jangan sepelekan sakit di perut. Bisa jadi tidak sesepele yang kita kira. Apalagi sudah tahu sakit usus. Bisa kehilangan daya cerna makanan dan daya serap nutrisi dari makanan melalui usus. Makanan sekaya apapun kandungan gizinya tidak akan ‘terserap’ tubuh. Maka yang menderita gangguan pencernaan, terutama usus akan susut berat badannya. Sepengetahuan saya begitu. Detilnya bisa tanya dokter.
Selamat jalan para sahabat: Nerdi, Yudi dan Fasya. Chrone yang memaksa mereka pergi. Kebaikan mereka akan tetap saya kenang.(*)
*)Lukman Enha/Pimpinan Redaksi