BANDUNG-Pascaerupsi sebulan lalu, aktivitas Gunung Tangkuban Parahu saat ini belum menunjukan tanda-tanda penurunan atau masih berstatus waspada level II. Hal ini membuat kekhawatiran sejumlah pihak, terutama warga sekitar gunung, pemangku adat, tokoh masyarakat dan kasepuhan Kampung Adat Gamlok Cikole, Kecamatan Lembang yang merasakan dampak langsung.
Mereka pun menyampaikan 6 poin pernyataan sikap sehubungan dengan dinamika yang terjadi pascaerupsi pada 26 Juli lalu. Pasalnya, Gunung Tangkuban Parahu memiliki kedudukan yang sangat penting dan disakralkan dalam sistem budaya masyarakat Cikole, umumnya masyarakat Jabar.
“Point pertama, kami mohon pemerintah pusat hingga desa untuk lebih memperhatikan lagi kondisi masyarakat yang terkena dampak. Karena setelah erupsi, belum pernah ada pemerintah desa yang turun langsung ke warga sekitar gunung untuk memberikan arahan terkait jalur evakuasi apabila terjadi letusan yang lebih besar,” kata Pemangku Adat Gunung Tangkuban Parahu, Budi Raharja, Senin (26/8).
Baca Juga:Optimalkan Pelayanan, Dishub Disidak Wakil BupatiDompeng jadi Solusi Atasi Kekeringan, Bantu Petani Tanam Padi di Musim Kemarau
Point kedua, pihaknya meminta BPBD untuk membuat jalur evakuasi atau mengecek kembali jalur evakuasi yang sudah ada. Serta memberi arahan atau pelatihan evakuasi kepada masyarakat sekitar gunung untuk menghadapi situasi terburuk.
Kemudian, Budi mengharap Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bertanggungjawab atas kerusakan kawasan hutan konservasi di sekitar TWA Tangkuban Parahu yang berakibat masyarakat sekitar gunung kesulitan air bersih.
“Hutan sebagai kawasan resapan air sudah rusak. Ditambah, kawasan pinggir kawah Ratu banyak berdiri bangunan beton dan tembok sehingga air hujan tidak bisa meresap dan tanah tidak dapat menyimpan air,” bebernya.
Selain itu, PVMBG juga diminta untuk lebih aktif lagi menyampaikan kondisi terkini terkait aktivitas gunung kepada masyarakat sekitar.
Kepada PT GRPP selaku pengelola TWA Tangkuban Perahu, pihaknya mendesak agar tak melibatkan masyarakat kampung Cikole terlibat dalam konflik sosial dengan membuat surat pernyataan atas nama masyarakat karena dapat menimbulkan konflik horizontal yang lebih luas.
“Serta point ke-6, pengelola harus mengedapankan keamanan pengunjung dan masyarakat Cikole dan tidak mengeksploitasi demi keuntungan perusahaan semata tanpa memperhatikan akibat kerusakan hutan konservasi dan keamanan serta kesejahteraan masyarakat sekitar,” ujarnya.