Untuk itulah diperlukan upaya profilaksis (pencegahan) agar menutup kejadian ILO. Di sinilah antibiotika mengambil peran penting. Oleh karena itu, kembali perlu kita dengungkan bahwa tuntutan besar terhadap rasionalitas antibiotika harus diawasi.
Sayangnya, ketidakpercayaan mendorong beberapa dokter mengesampingkan aturan peresepan antibiotik. Untuk menutup celah terjadi ILO yang mengerikan itu, dokter tidak hanya sekedar melakukan profilaksis, namun juga pemberian antiobiotik pasca bedah.
Meskipun kadang di rumah-rumah sakit memiliki pedoman clinical pathway-nya sendiri, beberapa dokter tidak mau pusing karena mengambil resiko. Sehingga dokter lebih percaya diri jika pasiennya diresepkan dengan antibiotik canggih yakni meropenem pasca operasi.
Baca Juga:Pelantikan Pjs Kades Dijaga Ketat AparatBawaslu Gelar Refleksi Tahapan Pemilu 2019
Meropenem merupakan antiobiotik generasi ketiga. Yang bila sesuai ilmu kefarmasian, penggunaan antibiotik harusnya dimulai dari generasi pertama dahulu. Sebab, bila pasien nantinya resisten dengan antibiotika generasi pertama, maka akan dilanjutkan dengan generasi kedua dan seterusnya.
Antiobitika generasi ketiga dalam hal ini meropenem merupakan antibiotika lini terakhir. Yang memang dari segi kemampuan melawan bakteri sangat bisa diandalkan dari generasi di bawahnya.
Sehingga meropenem sempurna menjamin keselamatan pasien dari kemungkinan serangan ILO. Tetapi bila penggunaan tidak tepat, pasien akan sangat dirugikan.
Beberapa kasus telah ditemukan dimana pasien resisten terhadap meropenem, padahal pasien itu sendiri merasa tidak pernah mengkonsumsi antibiok tersebut.
Kita bisa bayangkan, bagaimana bila suatu saat pasien yang sudah kebal antibiotik itu mengalami sakit dan harus diobati dengan antibiotik? Antibiotik apalagi yang mempan jika dia sudah resisten terhadap antibiotik generasi ketiga yang canggih itu? Sementara itu, antibiotika terbaru belum ditemukan.
Belum lagi, antibiotik generasi ketiga terbilang mahal. Jelas ini tidak adil.
Ketidakpercayaan dokter pada efektivitas tindakan profilaksis didasari oleh keraguan terhadap sterilitas ruangan operasi.
Dibandingkan dengan alat-alat bedah yang senantiasa disterilkan, kesterilan ruangan sulit dipastikan. Ditambah lagi, menjaga kesterilan ruangan terbilang memang pekerjaan yang tidak mudah dan merepotkan.
Namun mengingat paradigma kesadaran medis sudah bergeser pada keselamatan pasien, maka alasan ruangan kotor tidaklah elok dijadikan bahan pembelaan.
Berdasarkan ASHP (American Society of Health System Pharmacist Therapeutic Guidelines on Antimicrobial Prophylaxis in Surgery, Antibiotik yang direkomendasikan adalah sefazolin, dan apabila pasien alergi antibiotik alternatif yang diberikan adalah klindamisin/aminoglikosida.