LEMBANG-Pagi menjelang siang, sejumlah orang yang mengenakan pakaian pangsi hitam dan ikat kepala berjalan di depan gerbang Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu Desa Cikole Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Di sana, mereka mengadakan siraman, salah satu ritual dalam rangka ruwatan Gunung Tangkuban Parahu yang rutin diadakan setiap tanggal 10 Muharram oleh masyarakat adat serta kasepuhan Kampung Adat Gamlok Cikole.
Dalam siraman ini, mereka menaburkan air yang telah didoakan, bunga melati, uang logam dan susu. Hal ini sebagai simbol atau tanda bahwa masyarakat sepakat untuk tidak mengganggu Gunung Tangkuban Parahu yang kini sedang mengalami peningkatan aktivitas.
Baca Juga:KPM Sejahtera Harus Lepaskan StatusnyaPetani Butuh Bantuan Benih dan Pupuk
Pemangku Adat Gunung Tangkuban Parahu, Budi Raharja mengatakan, tradisi ngaruwat gunung biasanya mengambil lokasi di puncak Kawah Ratu Tangkuban Parahu. Tetapi, karena Kawah Ratu sedang erupsi dan berstatus level II waspada sehingga acara ruwatan dilaksanakan di Kampung Gamlok.
“Ruwatan kali ini tidak ada kaitannya dengan erupsi gunung yang saat ini terjadi. Hanya memang peringatan tahun ini bersamaan dengan kejadian erupsi di Tangkuban Parahu,” kata Budi, Selasa (10/9).
Menurutnya, tradisi tahunan ini bertujuan agar masyarakat yang tinggal di sekitar gunung diberkati atau diberi keselamatan serta dijauhkan dari segala hal marabahaya dan musibah lainnya.
“Ruwatan bukan untuk menghentikan aktivitas gunung, karena setiap peristiwa alam adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Bukan manusia yang berkehendak, semua peristiwa yang terjadi pasti sebagai pertanda dan selalu membawa hikmahnya bagi manusia,” ujarnya.
Sebelum siraman di gerbang TWA Tangkuban Parahu, masyarakat Adat Gunung Tangkuban Parahu serta kasepuhan Kampung Adat Gamlok Cikole terlebih dahulu mengadakan doa bersama untuk keselamatan, dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama yang telah disediakan sebelumnya.
“Ruwatan tahun ini diadakan lebih sederhana untuk menghormati tradisi leluhur dalam menjaga alam serta menghormati Ibu Ratu dan Eyang Sangkuriang yang masih dipercayai sebagai legenda hidup dalam lingkungan masyarakat sekitar gunung,” ungkapnya. (eko/sep)