Di halaman stadion saya bertanya ke lebih 20 orang yang sudah datang sepagi itu – -semua mengaku baru sekali itu ke stadion Liverpool. Ada yang dari Hongkong. Dari Jepang. Shanghai. Islandia. Rumania. Ghana. Mesir. Amerika. Mereka menggunakan jersey lengkap: kaus, jaket, dan sal.
Selama masa penantian 3 jam itu mereka foto-foto. Begitu banyak obyek yang bisa jadi latar belakang foto. Apalagi ada kejutan. Ada yang begitu miripnya dengan Jürgen Klopp –pelatih Liverpool. Atau mirip Mohamed Salah.
Tampilannya pun dimirip-miripkan Klopp atau Salah: rambutnya, kaca matanya, gayanya. Mereka pun jadi obyek selfie.
Tapi saya tadi belum sempat sarapan.
Baca Juga:Nana Mulyana Nakhodai Menwa SubangBupati Apresiasi Gotong Royong Warga Cidadap
Banyak sekali bar di sepanjang jalan depan stadion. Apalagi kalau mau belok kiri. Saya menelusuri jalan itu. Melewati pedagang-pedagang kaki lima lainnya.
Saya harus cari sarapan yang cocok dengan selera.
Saya pun tertarik pada bangunan yang di kiri jalan itu. Yang sangat mirip gereja itu. Banyak orang masuk ke situ. Saya kira mereka lagi mau kebaktian pagi.
Tapi ini kan hari Sabtu. Di Inggris tidak banyak pengikut Advent –yang kebaktiannya di hari Sabtu.
Dan lagi semuanya mamakai jersey suporter bola. Mana ada kebaktian pakai jersey sepak bola.
Saya terus melangkah ke sana. Tulisan di dinding depannya membuat saya terhenyak: Church Bar. Bar Gereja.
Saya pun menapaki tangga naik ke terasnya. Lalu masuk. Penuh dengan orang minum bir. Sepagi itu.
Ternyata, ini bukan gereja.
Saya pun memesan sarapan.
Roti keju, kacang merah bersaus, sosis veggie, tomat goreng, dan kentang hash brown.
Baca Juga:Pembangunan Taman Berikan Ruang Nyaman MasyarakatManfaat Dana Desa bagi Petani Kopi Cupunagara
Roti kejunya luar biasa lezatnya: toast yang dibakar sambil ditumpahi keju.
Sambil makan saya amati ruang itu. Besar sekali. Saya amati bentuk dinding dan lengkung-lengkung interiornya. Saya amati juga bangku-bangku panjang yang jadi tempat duduk ini.
Begitu mirip dengan dalamnya sebuah gereja.
“Apakah bangunan ini dulunya gereja?” tanya saya ke pelayan bar itu.
“Betul. Dulu sekali,” jawabnya.
“Sejak kapan berubah menjadi bar?” tanya saya lagi.
“I have no idea. Sudah lama sekali”.