Albert Camus pernah berdalih sebuah kebebasan pada dasarnya tidaklah mutlak menjadi hak kepemilikan saat ada hukum yang mengaturnya dengan tujuan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban rakyat di dalam negara. Pertanyaanya apakah hal tersebut sudah terpenuhi?
Mengingat realitasnya di Indonesia, produksi hukum yang sudah ditetapkan saja, banyak menuai korban secara sepihak. Sebut saja UU ITE yang bisa menjerumuskan siapa saja jika mecoba membangun narasi atau penyampaian yang tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Sudah jelas dalam konteks ini, beberapa undang-undang tidak hadir dengan hukum yang berlandaskan asas kebermamfaatan.
Gejolak permasalahan rancangan dan revisi undang-undang menyebabkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat. DPR mendapatkan integritas buruk di hadapan publik. Demokrasi hanyalah permukaan sistem yang mentah yang diyakini banyak masyarakat sebagai sistem alternatif yang terbuka. Sementara di dalamnya olirgarki menetap dengan tenang menghitung rupiah dari tetes keringat masyarakat yang tidak menyadarinya.
Baca Juga:Bantah RPJMD Hasil Plagiat, Bappeda Akui Human ErorKekeringan, Petani Mengadu ke DPRD
Sebagai patron dalam demokrasi, mahasiswa memilih untuk tidak diam. Panggilan tangung jawab sosial dalam menuntut keadilan yang harus diperoleh masyarakat, mereka jawab dengan aksi demosntrasi besar-besaran yang terpusat di Jakarta dan berbagai kota lainya. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah sikap responsif akan hal yang berkesinambungan dengan apapun yang berkaitan dengan kegandrungan. Bukan beban intelektual saja yang mereka gengangam, lebih dari itu ada beban moral dan sosial yang menjadi tangung jawab untuk terus-menurus menyuarakan keadilan.
Maka dari itu, pemerintah harus mendengarkan apa yang menjadi tuntutan mereka. Bersikap terbuka dalam memberikan kesempatan untuk berdialog. Sangat miris jika demosntrasi harus disambut dengan kekerasan para aparat. Sehinggah pencegahan yang represif tidak hanya menjadi catatan sejarah di masa lalu yang kelam, tapi nyatanya cara yang tidak humanis tersebut tetap saja menjadi andalan rezim untuk membungkam kritik. Pada Intinya mereka juga sama-sama manusia yang dapat merasakan emosional apapun. Kekuatan mereka hanyala semangat dan nurani yang membara saat ketidakadilan berserakan dimana-mana. Bayangkan saja rasa sakit akibat kekerasan yang mereka dapati juga dirasakan oleh pemerintah. Luka-luka lembam, darah yang mengalir bahkan nyawa harus menjadi taruhannya. Apa pemerintah secara kesulurahan dapat menerima jika penderitaan tersebut terjadi pada diri pemerintah itu sendiri ? Jika mereka memposisikan dirinya sebagai manusia, tentunya tidak.