Saya ingat Robert sering bercerita. Tentang kehebatan lapangan golf di Augusta. Yang kaya-raya saja tidak cukup bisa membuatnya ke sana.
Robert pernah ke sana.
Waktu mau berangkat dari Atlanta kami mampir dulu ke gedung pusat CNN.
Saya sempat lihat peta. Augusta ada di tengah antara Antlanta-Columbia.
Tanpa setahu mereka, saya setting sendiri Google map. Dengan tujuan rahasia.
Baca Juga:TNI Jaga Keamanan dan Nilai Pancasila, Berharap Kondisi Bangsa Kembali KondusifLPM Jangan Hanya Bangun Fisik
Di perjalanan Robert tidur. Itu baik. Agar tidak terus bertengkar dengan John. Biasanya mereka bertengkar gara-gara bahasa. Sering John merasa tidak mengerti ucapan Robert –Inggris logat Inggris. Kecampuran logat Singapura. John selalu bicara Inggris logat Amerika.
John sebenarnya mengerti juga. Tapi ia ingin agar saya tidak ketularan Inggrisnya Robert. Saya harus hanya jadi muridnya John.
Google map mengarahkan saya ke satu tempat. Saya berhenti di situ. John bertanya: mengapa berhenti di sini. Saya tidak menjawab.
Robert pun bangun. Ia bertanya: apakah kita sudah sampai Columbia? Saya tidak menjawab.
“Hah? Di mana ini?” tanyanya sambil ucek-ucek mata.
“Hahahaha… Ini Augusta! Mengapa saya tidak diberitahu sebelumnya,” katanya.
Marah-marah-suka.
“Haha… Tidak menyangka saya bisa ke Augusta lagi,” katanya.
Saya pun senang. Bisa menyenangkan hati Robert. Matanya langsung berbinar. Cerita golfnya pun tidak berhenti-berhenti di sisa perjalanan.
Pun kali ini. Saat saya di Edinburgh ini. Saya tidak memberitahu Robert. Kalau saya akan ke St Andrews. Hanya mengiriminya satu foto tadi.
Saya memang lagi mendorong Robert untuk mau menulis buku. Tentang golf. Dengan titik berat pengalaman magangnya di St Andrew. Plus mengenai 100 lubang yang semua tidak sama itu.
“Mulailah menulis,” kata saya.
Baca Juga:Banyak Penderita HIV AIDS Enggan Minum Obat AVRPT Pupuk Kujang Selenggarakan “Kujang Plogging Day”
Saya tahu Robert Lai pandai menulis. Kata pengantar yang ia tulis di buku saya, Ganti Hati, tidak perlu ada yang saya koreksi.
“Mulailah menulis sekarang,” kata saya. “Mumpung Anda lagi nganggur di kapal pesiar yang tidak ada lapangan golfnya,” tulis saya lewat WeChatnya.
Imannya juga teguh.
Ia tetap belum mau menulis.(Dahlan Iskan)Â