SUBANG-Hari Santri Nasional (HSN) telah berlangsung pada 22 Oktober kemarin. Ribuan santri dari berbagai pesantren turun ke jalan-jalan protokol di Kabupaten Subang untuk mengikuti pawai Ta’aruf.
Lalu bagaimana sebetulnya para santri itu sendiri menyikapi hari santri? Inilah perbincangan Pasundan Ekspres dengan salah satu santri asal Binong Subang, yang mondok sudah selama 10 tahun di Pesantren Buntet Cirebon.
Dialah Syarif Hidayatullah, setelah melanglang buana ke berbagai pesantren hingga ke Jawa Timur, Syarif dari Binong Subang akhirnya lama mondok di Pesantren Buntet Cirebon.
Baca Juga:Gubernur Paparkan Tiga Model Revitalisasi SMK di JabarSuhu Udara di Subang Terasa Lebih Panas, Ini Kata BMKG
Dia mengungkapkan kebahagiaannya pada HSN tersebut, menurutnya sudah saatnya santri membuktikan kemampuannya, setelah mendapati perlakuan istimewa dari negara. Baginya HSN adalah tantangan bagi kaum santri, untuk bisa semakin kontekstual dan lebih semangat menuntut ilmu agar bisa bersaing diberbagai bidang, baik Iptek, Pemerintahan dan sebagainya.
“Ya seneng, bahagia, biasanya santri yang tersingkirkan, dalam artian jarang terekpose, sekarang diberi ruang, bahkan di hari nasionalkan, kan luar biasa. Saya melihat itu sebagai cambuk agar santri juga tidak cuma pandai ngaji, tapi juga memahami berbagai macam ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya masing-masing,” jelas Syarif.
Selain itu juga, dia menceritakan apa yang paling terpatri dalam ingatannya selama di pondok pesantren. Hubungan antara santri dengan kiayi itu yang paling membekas dalam dirinya selama dia ada di pondok.
Bagaimana kiayi bisa mengetahui gundah gulana seorang santri, padahal santri-santrinya belum menceritakan apapun pada kiayi, sehingga nasihat-nasihatnya bisa diterima dan diingat hingga saat sekarang.
“Kedekatan santri dengan kiayi itu ya dekat sekali, tanpa ada batas. Namun santri tetap seperti otomatis mempunyai batasan-batasan sendiri, sehingga menumbuhkan rasa hormat, takjim yang muncul dengan sendirinya. Itu yang paling membekas sih bagi saya dan semua santri itu merasa anak kesayangan kiayi, itu semuanya, sekarang saya baru sadar, beliau berarti memperlakukan semua santrinya sama,” tambahnya.
Terakhir, dia menyampaikan pada masyarakat yang masih terkungkung oleh stigma negatif tentang pesantren, bahwa pesantren itu kotor dan jorok. Sehingga kalau nyantri pasti gatal-gatal, atau dianggap bahwa memasukan anak ke pesantren itu sama dengan membuang anak. Paddahal prinsip dari nyantri itu kona’ah atau menerima apa adanya.