“Keengganan 33 investor yang keluar Tiongkok memarkirkan dana di Indonesia seharusnya jadi introspeksi. Sampai titik ini, iklim investasi perlu dibenahi. Mewujudkan itu semua perlu pemerintahan kuat dan berwibawa, menuju Indonesia makmur berdaulat,” jelasnya.
Kondisi ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, susah move on dari 5 persen pertumbuhan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan hanya 5,05 persen pada kuartal II-2019 secara tahunan.
“Angka ini menunjukan perlambatan dibandingkan periode tahun sebelumnya (5,27 persen). Bahkan Bank Dunia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,2 persen (2018) menjadi 5,0 persen (2019). Tetapi, meningkat ke 5,1 persen (2020) dan 5,2 persen (2021),” katanya.
Baca Juga:150 Peserta Ikuti Lomba Lintas Alam, Telusuri Hutan Sejauh 10 KMSMAN 1 Cilamaya Peringati Bulan Bahasa
Jojo menjelaskan, data IHS Markit menyebut PMI Indonesia hanya 49,2 pada kuartal III-2019, terendah sejak 2016. PMI kurang dari 50 mengindikasikan ada kontraksi di sektor manufaktur. Sementara, data Bank Indonesia (BI) mencatat, kinerja sektor Industri pengolahan pada kuartal III-2019 melambat dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari Prompt Manufacturing Index (PMI) BI sebesar 52,04 persen pada kuartal III- 2019. Angka ini lebih rendah dari kuartal II-2019 (52,66 persen).
“Alarm dari sektor finansial setali tiga uang. Lampu kuning datang dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun 3,85 persen beberapa waktu lalu, ditandai larinya dana keluar lebih Rp 800 miliar,” pungkasnya.(ysp/ded)