OLEH: Ilham Akbar
Esais dan Pemerhati Sosial
Tidak ada sesuatu yang paling membahayakan di dunia ini selain kehilangan kemampuan berpikir kritis dari seorang pemuda. Tanpa dimungkiri, pada saat ini dunia sedang gandrung dengan ingar-bingar revolusi industri 4.0, yang menyudutkan para pemuda untuk seolah-olah harus mengutamakan materi dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritisnya. Pada akhirnya, karena hegemoni yang berbau dengan revolusi indutri 4.0 itu membuat manipulasi semiotika di berbagai media massa maupun media online, sehingga membuat para pemuda pun menjadi lupa terhadap kemampuan berpikir kritis yang pernah mereka miliki sebelumnya. Bahkan pada saat ini, di hari sumpah pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, pemuda pun sering kali dibuat tunduk dengan kapitalisme dari korporasi yang semakin tidak bisa dihentikan oleh apapun itu.
Tuntutan zaman juga menjadikan para pemuda dibuat seolah-olah harus kecanduan teknologi, dan menjadi budak dari determinasi teknologi. Padahal sebenarnya bisa jadi dari lubuk hati yang paling dalam, mungkin saja para pemuda tidak mau diracuni oleh hal-hal yang menuntut para pemuda untuk menjadi budak dari determinasi teknologi tersebut. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, sering kali berbagai tokoh-tokoh penting yang berada di Indonesia melakukan indoktrinasi agar para pemuda menjadi seseorang yang kreatif dan inovatif.
Namun pada kenyataanya, kemampuan kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh para pemuda itu hanya akan menjadi sumbangsih untuk para korporasi yang akan membuat mereka terkurung di dalam penjara fisik. Lantas, apa yang dimaksud dengan penjara fisik itu?
Baca Juga:Daday Hudaya Daftar ke Gerindra, Pertama Ambil Formulir PendafataranManfaatkan Limbah Kayu Menjadi Kerajinan
Disebut penjara (prison) karena organisasi itu sama dengan penjara, sebab orang yang menjadi anggota suatu organisasi sama dengan orang yang dipenjarakan. Menurut metafora ini, para anggota organisasi secara sadar maupun tidak sadar menyerahkan pikiran dan tindakannya kepada organisasi, lalu organisasi dengan cara tertentu mengendalikan mereka untuk bekerja demi kepentingan organisasi. Disebut fisik karena keberadaan organisasi itu ibarat fenomena fisik yang diciptakan dan dipertahankan keberlanjutannya melalui suatu proses, yang disadari maupun tidak disadari, oleh para anggota organisasi (Liliweri, 2014: 212).