Maka Minggu sore kemarin saya kembali ke Nathan Road. Salat asar di masjid tiga lantai itu. Sebelum waktu asar pun pendemo sudah mulai memadati kanan-kiri jalan sekitar masjid. Kian senja kian padat.
Setelah satu jam di tengah demo saya duduk di teras toko yang tutup. Di tangganya. Menulis naskah ini. Di tengah keriuhan suara teriakan demo.
Tong-kai tahu semua kehebohan itu. Begitu keluar pintu penjara ia membuat pernyataan pendek. Tanpa tanya jawab.
Baca Juga:Ruwatan Bumi Berhadiah di Desa GambarsariBelasan Buku Nikah Cirebon Dibuang di Pantura
Tong-kai minta maaf pada masyarakat Hongkong. Pada orang tuanya. Dan pada keluarga pacarnya.
Mengapa Tong-kai tidak langsung pergi saja ke Taiwan? Seperti saat ia dan pacarnya liburan Valentine dulu?
Hari itu, seusai pesta, Tong-kai membunuh pacarnya. Setelah sang pacar mengaku hamil. Memotong-motongnya dengan pisau yang baru dibeli. Memasukkannya ke kopor yang juga baru diambil dari toko. Membuangnya di sungai Taipei, Taiwan.
Pulang ke Hongkong.
Terbongkar.
Polisi Hongkong tidak punya barang bukti sedikit pun. Hanya memiliki pengakuan Tong-kai.
Satu pengakuan tidak cukup untuk memperkarakannya. Tong-kai tetap ditangkap dan diadili. Tapi bukan karena membunuh. Hanya karena mencuri uang mendiang pacarnya. Lewat ATM yang diambil dari saku mayatnya.
Tapi untuk menyerahkan diri kepada polisi di Taiwan?
Ia harus punya visa.
Kalau sampai Tong-kai mengajukan visa, Taiwan akan sulit. Akankah Taiwan memberi visa? Atau menolak?
Dua-duanya bisa menyulitkan capres incumbent. Yang sangat anti Tiongkok.
Sang pastor kelihatannya tidak mau mempersulit pemerintah Taiwan sekarang.
Maka Tong-kai akan menyerahkan diri setelah Pemilu saja.
Kalau jadi.(Dahlan Iskan)