Berdasarkan data dari Bidang Advokasi dan Monev Terapan JKN untuk Masyarakat dan Kesejahteraan Dokter Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), idealnya 80% penyakit selesai di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 20% di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).
Meski demikian, Bagja menerangkan, secara realitasnya, dalam menangani pasien kronis, selain kurangnya fasilitas, Puskesmas juga mengalami keterbatasan dalam segi farmasi. “Ketersediaan obat-obatannya itu Puskesmas tidak memiliki. Apalagi obatnya itu yang tidak kerjasama dengan BPJS sehingga menyulitkan pasien,” terangnya.
Di KBB sendiri, lanjut dia, selain sedikit ruang inap di Puskesmas, masih banyak rumah sakit yang ruangan rawat inapnya pun sangat terbatas. Sehingga untuk mendapat pelayanan kesehatan, tidak jarang masyarakat KBB yang dirujuk ke rumah sakit lain yang berada di luar daerah. “Di RSUD Cikalongwetan walaupun sudah cukup banyak ruangan, tapi belum bisa mengcover (pasien rawat inap) semuanya. Jumlah pasien ini lebih banyak daripada ketersediaan ruangannya,” ujarnya.
Baca Juga:Pencetakan KTP-eL Terkendala BlankoWarga Keluhkan Kenaikan Iuran BPJS
Disampaikan Bagja, program PRB tengah menjadi polemik, untuk mendapat penanganan medis, pasien kronis yang menggunakan BPJS harus mengurus surat rujukan dari FKTP ke FKTL per tiga bulan sekali sehingga, mekanisme ini sangat menyengsarakan dan banyak menyita waktu pasien.
“Jadi untuk mendapat pemeriksaan saja, pasien ini sudah terkuras tenaganya. Nah karena panjangnya mekanisme untuk PRB ini, ada juga pasien yang memilih membayar sendiri ketimbang menggunakan BPJS yang mekanismenya rumit,” tandasnya. (eko/sep)