Oleh : Muhamad Choerul Adlie Rafqie (Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik , UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Nampaknya isu terkait radikalisme tidak pernah hilang dari sorot mata publik, hal itu dikarenakan masih banyaknya pola-pola gerakan radikalisme , umumnya faham radikalisme yang akhir-akhir ini marak adalah keinginan dari sebagian orang untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan faham-faham lain seperti contohnya khilafah.
Sikap radikalisme muncul karena faktor intoleransi yang masih menjangkiti masyarakat di negara ini. Tak main-main, hampir semua sektor di negara ini sudah mulai terpapar faham radikalisme seperti lembaga birokrasi, lembaga pendidikan, lembaga penegak hukum, dan lain sebagainya.
Baca Juga:[OPINI] Kiat Merespons Kenaikan Iuran BPJSUTOPIA HAM
Misalkan saja di lembaga pendidikan, belum lama ini Setara institut dalam kurun waktu Februari sampai April 2019 mengeluarkan sebuah hasil temuan terhadap 10 PTN di Indonesia yang masih ditemukan wacana dan gerakan keagamaan yang bersifat ekslusif, kesepuluh PTN tersebut adalah : UI, UIN Syarief Hidayatullah, ITB, UIN Sunan Gunung Djati, IPB, UGM, UNY, UNAIR, Universitas Brawijaya, dan Universitas Mataram. Adapun survey yang dilakukan oleh Badan Intelegen Negara (BIN) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa 39 persen mahasiswa terpapar faham radikalisme dengan menyetujui jihad demi berdirinya negara islam dan tegaknya khilafah.
Hal ini tentu dikarenakan ada organisasi-organisasi terlarang seperti Hizbut Tahrir Indonesia, coba melakukan pola-pola indoktrinasi di dalam ruang lingkup kampus, mereka membuat ruang-ruang diskursus yang digunakan untuk menyebarluaskan faham-faham yang tidak mencirikan moderat kepada mahasiwa dan mahasiswi. Tak sedikit pula diindikasikan dosen-dosen yang berpandangan ekstrim, mereka melakukan agitasi dan propaganda kepada mahasiswa dan mahasiswi lewat mata kuliah yang diajarnya, biasanya di mata kuliah yang spesifik tentang keagamaan.
Benturan-benturan terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya yang terjadi di negara ini, biasanya dijadikan sebagai dasar argumen mereka yang menganggap pemerintahan negara ini dijalankan oleh orang-orang yang beritikad buruk (kakostokrasi) dan yang mencoba memisahkan negara dengan agama (sekuler). Maka dari itu mereka menganggap perlu diubahnya sistem bernegara yang berdasarkan khilafah untuk merestorasi tatanan berbangsa dan bernegara. Akhirnya tak jarang mahasiswa maupun mahasiswi yang mulai terdoktrin oleh faham-faham radikal, karena kebanyakan dari mereka menerima segala sesuatu secara apriori tanpa mencari pembanding dari argumen yang diserap oleh mereka.