Terlebih jika sudah seperti itu, dikhawatirkan dari mahasiswa dan mahasiswi yang sudah memiliki paradigma radikalisme diskursif dapat memicu disintegrasi bangsa, karena mau tak mau nantinya akan ada konflik horizontal dari kelompok yang pro khilafah dengan yang pro pancasila. Kelompok yang pro khilafah menganggap pancasila sebagai ideologi tidak bisa mengakomodasi nilai-nilai ke-islaman secara komprehensif sedangkan kelompok pro pancasila menganggap khilafah tidak relevan diterapkan karena Indonesia itu heterogen terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama. Sudah tentu hal ini sangat berbahaya bagi stabilitas nasional jika tidak segera dihentikan, karena dikhawatirkan perang yang terjadi bukan hanya perang argumen melainkan sampai perang secara fisik. Tentu kita tidak mau berperang dengan bangsa sendiri, karena tidak akan ada pihak yang diuntungkan dan justru semua pihak akan dirugikan.
Peran Pemerintah
Presiden Joko Widodo di periode keduanya berjanji akan fokus memberantas radikalisme, hal ini diperkuat dengan diangkatnya Jendral (Purn) Fachrul Razi sebagai menteri agama yang memiliki urgensi untuk melawan gerakan-gerakan radikalisme, yang pada beberapa hari setelah dilantik langsung mengumpulkan seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama dan Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan untuk membahas isu tentang radikalisme. Nampaknya, pemerintah sudah mulai serius untuk melakukan deradikalisasi di semua sektor termasuk perguruan tinggi. Namun, pemerintah harus sampai pada aksi tidak hanya terhenti pada wacana-wacana untuk memberantas radikalisme. Seperti halnya pemberantasan radikalisme di perguruan tinggi, pemerintah harus lebih berani mengambil langkah-langkah strategis contohnya seperti giat sosialisasi empat pilar kebangsaan (pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) di seluruh kampus dan melakukan sinergi bersama para rektor-rektor seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia untuk menekan pola-pola gerakan radikalisme di kampus.
Peran Rektor
Optimalisasi peran rektor dalam mencegah masuknya faham-faham radikalisme di dalam kampus juga harus terus dilakukan. Keluarnya permenrisetdikti nomor 55 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi seharusnya dibarengi dengan dibuatnya UKM Pembinaan Ideologi Bangsa disetiap kampus-kampus yang ada di Indonesia. Hal lain yang bisa dilakukan oleh rektor di setiap Peguruan Tinggi adalah membuka komunikasi dengan elemen organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti PMII, HMI, GMNI, IMM, dan lain sebagainya yang terkenal berpandangan moderat untuk membuat suatu ruang-ruang diskusi alternatif sebagai metode peneguhan kembali terhadap nilai-nilai berbangsa dan bernegara sesuai dengan harapan para founding father negara ini, karena tak dapat dipungkiri organisasi mahasiswa ekstra kampus sejauh ini sudah cukup bisa meredam maraknya faham radikalisme yang ada dikampus.