Komposisi Menteri
Mari kita telisik lebih dalam terkait racikan menteri ala Presiden Joko Widodo. Pada kesempatan pengumuman formasi kabinet Indonesia Maju di Istana Merdeka, beliau mengangkat menteri dari kalangan non partai sebesar 55,3% dan dari kalangan partai sebesar 44,7%, ini sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo yang akan memberi porsi non partai lebih besar daripada partai politik. Namun jika membandingkan dengan keinginan rakyat untuk membentuk zaken kabinet, rasanya masih sangat jauh dari harapan tersebut.
Walaupun sudah mengangkat menteri lebih dominan dari kalangan non partai dibandingkan dari partai politik, terdapat menteri-menteri yang dianggap sangat kontroversial walaupun berasal dari non partai. Masyarakat menyoroti beberapa nama, misalnya saja Jendral (Purn) Fachrul Razi yang diangkat menjadi Menteri Agama (Menag) dan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan–Pendidikan Tinggi (Mendikbud-dikti). Masyarakat melontarkan banyak pertanyaan, mengapa Presiden Joko Widodo mengangkat Menag dari kalangan purnawirawan jenderal dan mendikbud-dikti dari kalangan pebisnis start up?. Kedua nama tersebut dinilai tidak ditempatkan sesuai porsinya, terlebih diangkatnya Jendral (Purn) Fachrul Razi sebagai Menag sampai mendatangkan kritik dari dua ormas besar Islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah karena dinilai bukan dari kalangan santri atau agamawan.
Rival Masuk Kabinet
Terkait masuknya partai oposisi kedalam koalisi juga sangat mengejutkan khalayak ramai. Prabowo Subianto sebagai rival Joko Widodo di Pilpres 2014 dan 2019 lalu masuk kedalam kabinet Indonesia Maju menjadi Menteri Pertahanan, konsekuensi terkait ancaman merosotnya perolehan suara partai gerindra di 2024 agaknya di kesampingkan terlebih dahulu, padahal tak sedikit dari simpatisan dan kader partai gerindra yang kecewa sama keputusan ketua umumnya tersebut. Ditambah dengan masuknya partai gerindra ke koalisi akan memperlemah oposisi, padahal didalam sistem demokrasi yang memakai “Trias Politika” , diperlukan check and balance dari legislatif kepada eksekutif.
Baca Juga:Menggagas E-Perangkat Pembelajaran untuk GuruMANAGEMEN SAMPAH BELAJAR DARI DESA KESONGO, JAWA TENGAH
Namun jika melihat konstelasi politik yang ada, hal tersebut akan sulit terealisasi karena jumlah oposisi tak sebanding dengan jumlah koalisi. Hal lain terkait masalah yang nanti mungkin akan terjadi menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, adalah dengan masuknya partai oposisi kedalam struktur kabinet membuat Presiden Joko Widodo mau tidak mau mudah tersandera berbagai kepentingan partai politik yang sangat kompleks.