SUBANG-Kaum millineal dianggap kurang tertarik menggeluti sektor pertanian. Hal tersebut dikatakan oleh Jojo dosen STMIK yang kini tengah menempuh pendidikan doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB) University.
Dia menyebut, ada dua alasan utama sektor pertanian kurang diminati kelompok millenial. Ekonomi dan non ekonomi menjadi alasan mengapa millineal kurang tertarik pada pertanian.
“Alasan pertama ini soal ekonomi. Jadi pertanian Indonesia memiliki tingkat produktivitas relatif rendah, dibanding sektor manufaktur dan jasa, serta berisiko tinggi. Hasil produksi pertanian tidak bisa ditebak dan fluktuasi harga. Petani juga harus bersahabat dengan kondisi alam yang tidak menentu (bencana alam, kemarau panjang, banjir, serangan hama, dan cuaca),” jelasnya.
Selain itu, alih fungsi lahan yang masif. Data Sensus Pertanian 2003 dan 2013, menunjukan terjadi penurunan luas lahan 16,32 persen. Dengan kepemilikan lahan sempit (0,5 hektare), sulit mencapai skala ekonomi dan hanya cukup untuk mencukupi konsumsi sendiri.
Baca Juga:PGRI Subang Siap Merihakan Peringatan Hari GuruMengubah Stigma Kampung Begal, Komitmen Tingkatkan Kegiatan Agama
“Di sisi lain, pemangku kebijakan sering kurang sigap, kadang mengeluarkan kebijakan yang kurang berpihak pada petani. Kebijakan impor yang kurang cermat sering memandulkan produktivitas petani kita,” ujarnya.
Jojo menyebut, alasan kedua non ekonomi. Pandangan masyarakat terutama millenial menjadi petani adalah karier tidak menjanjikan masa depan dan simbol kemiskinan, kotor dan kumuh.
“Generasi millenial merasa bangga memiliki kesempatan dan gengsi yang lebih menjanjikan bekerja di sektor manufaktur menjadi buruh pabrik, jasa dan digital economy,” katanya.
Sebagai solusi, pada era industri 4.0, agar sektor pertanian diminati generasi muda millenial, maka sektor pertanian harus dibuat menarik sehingga menginspirasi anak muda millenial dan sarjana pertanian untuk terjun pada sekor pertanian. Diharapkan ada geliat mereka terjun disektor pertanian.
Caranya, dilakukan pengembangan model pertanian modern (smart farming / digital farming). Hal ini dicirikan dengan penggunaan inovasi teknologi pertanian terkini. Dikelola menggunakan alat atau mesin pertanian pada setiap tahapan produksi, sehingga dinilai mampu memberikan keuntungan maksimal.
Sebagai akademisi, dia meminta jajaran kementerian pertanian yang baru, perlu menyiapkan SDM yang inovatif, tangguh dan mandiri sebagai penggerak pembangunan pertanian. Selain itu, pemerintah perlu intervensi kebijakan fundamental yang pro-petani sehingga bisa mengurangi beban pengeluaran hidup petani.