Rencana saya ini ditentang tuan rumah. “Untuk apa naik kereta api 54 jam. Naik pesawat saja, 3,5 jam,” ujar mereka.
Saya sudah lama punya impian: ke Xinjiang naik kereta. Melewati gurun yang maha luas. Atau ketika balik dari Xinjiang.
“Kalian saja yang naik pesawat. Saya bisa naik kereta sendirian,” jawab saya.
“Tidak bosan nanti?” tanya mereka.
“Saya bisa menulis di sepanjang jalan,” jawab saya lagi.
Baca Juga:Pedagang Kalijati Mulai Tempati Pasar Sementara, Berharap Usaha Kembali NormalYayasan Nurul Aulad Yasa Bangun Rumah Singgah Anak Yatim
“Saya temani Anda. Meski dengan berat hati,” ujar Robert Lai. Teman Singapura itu.
Awalnya Robert juga menentang saya. Alasannya yang berbeda: kesehatan saya. Terlalu lelah. Setelah 10 hari keliling pedalaman Xinjiang pakai mobil.
Mereka tahu impian saya itu. Kami pun dibelikan tiket kereta. Dari Wulumuqi (ibu kota Xinjiang) ke Hangzhou.
Sebenarnya saya menyesal. Akhirnya. Apalagi teman Singapura saya itu.
Ternyata saya salah sangka. Saya kira saya akan naik kereta peluru. Yang sudah beroperasi sampai Xinjiang. Yang kecepatannya 350 km/jam itu.
Sesal kemudian tidak apa. Saya bisa segera move on. Saya berhasil menyembunyikan ekspresi kecewa. Terutama di depan Robert.
Justru Robert-lah yang kelihatan menekuk leher. Terlihat cemas di wajahnya. Tampak sangat kecewa di hatinya. Tapi tidak berani berkata-kata.
Tiba-tiba saja ia tertawa lebar: “Hahahaha… Enjoy live!” teriaknya. Membuat orang di stasiun itu melongo padanya.
Ia pun bisa move on –setengahnya.
Baca Juga:Berharap Keberkahan Alam, Desa Simpar Syukuran Ruwatan BumiLurah Tegal Munjul Kumpulkan Donasi Bantu Korban Kebakaran
Malam sebelumnya Robert ke supermarket. Membeli sprei, selimut, handuk, sikat gigi, antibakteri dan banyak lagi. Juga membeli bantal.
Ia tidak mau saya terinfeksi penyakit.
Mengapa saya dibelikan tiket seperti itu?
Rupanya tidak ada rute kereta peluru Wulumuqi langsung ke Hangzhou. Yang ada kereta lama. Kelas ekonomi. Yang warna hijau itu. Seperti yang selalu dinaiki Kim Jong-Un itu.
Bayangan saya: saya akan naik kereta peluru, di first class –yang kursinya seperti di pesawat kelas satu.
Bayangan saya yang lain: saya bisa mandi di situ. Bisa tidur dengan selimut tebal.
Saya pernah naik kereta peluru di kelas satu. Dua tahun lalu. Dari Hangzhou ke Shanghai. Saya masih ingat kecepatannya dan kenyamananya.