Dari Wulumuqi memang ada jadwal kereta peluru. Banyak. Tiap 15 menit. Ke banyak jurusan. Tapi, hanya saja, tidak ada yang jurusan langsung Hangzhou.
Padahal saya akan lebih senang seandainya naik kereta cepat meski rutenya putus-putus. Misal: ikut jurusan Lanzhou dulu. Lalu beli tiket lagi sambungnya: jurusan Chongqing. Sambung lagi jurusan Hangzhou.
Untuk apa disesali.
Ya sudah.
Salah saya.
Tidak ngotot membeli tiket sendiri.
Saya pun dapat pelajaran berharga: Tiongkok ternyata tidak menghapus kereta lama. Meski sudah punya jenis kereta baru.
Baca Juga:Pedagang Kalijati Mulai Tempati Pasar Sementara, Berharap Usaha Kembali NormalYayasan Nurul Aulad Yasa Bangun Rumah Singgah Anak Yatim
Saya pikir kereta ekonomi sudah dihilangkan. Sudah 10 tahun ini saya selalu naik kereta cepat. Saya lihat rakyat biasa pun sudah naik kereta peluru.
Memang jalur kereta cepat tidak ada yang menggunakan jalur kereta lama. Rel kereta cepat selalu dibangun baru, selalu eleveted (layang), lebih lurus, dan pakai listrik.
Untuk membuat lebih lurus itulah gunung-gunung diterobos terowongan. Laut, sungai dan rawa diatasi dengan jembatan.
Baru di Xinjiang ini saya tahu: rel kereta cepatnya tidak sama: tidak eleveted. Mungkin karena di Xinjiang toh hanya melewati gurun. Kalau sesekali ada persilangan, jalan mobilnya yang layang. Lebih murah.
Dengan hati yang disenang-senangkan kami pun naik kereta hijau itu. Saya pun tidak berusaha kaget melihat kondisi di dalamnya.
Saya pernah naik kereta seperti itu hampir 20 tahun yang lalu. Dari Wuhan ke Nanchang. Juga dengan Robert Lai.
Sebelum naik ke kereta pun saya sudah siap mental.
“Masih persis sama dengan 20 tahun lalu,” ujar Robert saat masuk ke gerbong.
Baca Juga:Berharap Keberkahan Alam, Desa Simpar Syukuran Ruwatan BumiLurah Tegal Munjul Kumpulkan Donasi Bantu Korban Kebakaran
“Sebenarnya tidak juga. Sudah sedikit lebih bersih,” kata saya. “Dan penumpangnya tidak ada lagi yang kumuh,” tambah saya.
Robert juga membisiki saya: jangan-jangan penumpang di dekat kita nanti berbau dan kumuh.
Ia sangat khawatir saya ketularan penyakit.
Ia pun mengeluarkan masker. Memaksa saya mengenakannya.
Sampai di dalam gerbong saya sudah sepenuhnya move on. Kereta ini mirip almarhum Bima. Jurusan Surabaya-Jakarta. Yang satu kamar berisi empat tempat tidur: dua di bawah, dua di atas.