Oleh:Dony Purnomo
Guru Geografi SMAN 1 Purwantoro
Guru honorer seolah menjadi permasalahan di dunia pendidikan yang tak kunjung terselesaikan. Bahkan pergantian masa kepemimpinan presiden di Indonesia permasalahan ini tak cukup mendapat perhatian serius. Pada masa pemerintahan presiden Jokowi periode pertama justru melakukan moratorium pengangkatan CPNS termasuk guru. Pada akhir jabatannya diperiode pertama dibukalah pendaftaran CPNS, sehingga guru pendaftar membludak dan guru yang telah melebihi 35 tahun kandas harapannya.
Pengangkatan PPPK yang diselenggarakan awal tahun 2019 seolah memberikan secercah cahaya bagi guru yang sudah melewati batas usia CPNS, namun lagi-lagi harus kandas karena korban kebijakan. Kini nasib mereka yang sudah lulus PPPK pun belum jelas. Janji untuk menyelenggarakan PPPK tahap 2 pun tinggal kenangan karena pemerintah tak lagi menyelenggarakan PPPK karena terkendala di anggaran.
Nasib guru honorer seolah seperti dibiarkan tumbuh dan mereka akan mati dengan sendirinya. Dibiarkan tumbuh karena banyak sekolah yang kekurangan guru, sehingga harus mengangkat guru honorer demi melaksanakan tugas mengajar karena gurunya pensiun. Kemudian setelah mereka bekerja bertahun-tahaun seolah mereka dibiarkan mati dengan sendirinya karena untuk diangkat menjadi PNS juga tidak mungkin karena batas usia maksimal 35 tahun.
Baca Juga:Perhari 13 Warga Subang jadi Janda, 400 Pasangan Bercerai Tiap BulanHGN, Guru dan Ortu Siswa Jadi Petugas Upacara
Dalam sistem pengelolaan guru honorer di Indonesia sebenarnya telah lama terjadi permasalahan, karena tidak ada data yang pasti menggambarkan jumlah guru honorer di Indonesia. Data yang pernah dirilis oleh matan mendikbud melalui tribunnews.com menyebutkan bahwa terdapat 736 ribu guru honorer dan 30 ribu diantaranya sudah tidak aktif di sekolah. Ketika basis data yang tidak valid maka akan meyulitkan pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Permasalahan berikutnya adalah pemecahan kategori guru honorer. Kenyataan di lapangan banyak kateogori yang disandang oleh guru honorer. Yang paling lama adalah guru honorer K2, guru honorer daerah, guru honorer sekolah dan sejenisnya. Pengkotak-kotakan ini akhirnya berdampak pada pendapatan yang diperoleh oleh guru honorer. Misal untuk memperoleh tunjangan daerah harus memperoleh status guru honorer daerah sedangkan guru honoer sekolah tak dapat menikmatinya.
Perbedaan status di kalangan guru honorer ini juga menimbulkan konsekuensi dari segi kesempatan pengembangan diri guru. Misalnya dalam pelaksanaan pre tes PPG dipersyaratkan minimal harus memiliki status guru honorer daerah sehingga guru honor sekolah tidak dapat mengikuti pretes PPG meskipun telah mengabdi bertahun-tahun menjadi guru dengan gaji pas-pasan.