Kemana sawahku ?
Sungguh judul artikel ini, kalimat yang begitu menohok. Tulisan tersebut agaknya sudah banyak digembor-gemborkan diseluruh penjuru negeri tetapi nampaknya masyarakat masih menganggap remeh akan persolan tersebut. Apakah Indonesia masih menjadi negara agraris? Bagaimana nasib para petani? Bagaimana nasib rakyat Indonesia? Pertanyaan ini masih saja bergelayut di dalam benak yang terus membayangi diri akan bagimana keadan negeri ini selama beberapa tahun kedepan apabila lahan persawahan terus-menerus dibabat habis oleh keserakahan manusia.
Konon katanya negeri ini memiliki wilayah yang subur, hijau dan dapat menyejahterakan rakyat. Namun, pada kenyataanya rakyat mana yang sejahtera? Petani sebagai kunci penghasil bahan pangan utama terus-menerus menjerit terhimpit oleh kerasnya pasar dagang. Seluruh jerih usaha yang digunakan untuk menggarap sepetak sawah masih saja dihianati oleh orang yang tidak bisa menghargai filosofi dari sebutir nasi.
Data dari Kementerian Pertanian mengungkapkan laju konversi lahan sawah mencapai 100.000 hektare per tahun. Konversi ini sebagian besar terjadi di wilayah Pulau Jawa. Pulau jawa merupakan salah satu lumbung beras nasional. Sebenarnya ada 8 derah penghasil padi terbesar di Indonesia dan salah satunya adalah Pulau Jawa. Pulau ini dapat menyumbang puluhan hingga ratusan ton beras dalam setahun. Jumlah tersebut memang dirasa sudah mencukupi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Namun, tidak semua beras memiliki kualitas yang sama untuk layak dimakan.
Baca Juga:DAHANA Boyong Trophy LKTP dari KemendagTahapan Open Bidding BUMD Dinilai tidak Sesuai
Sebenarnya permasalahan alih fungsi lahan sudah bukan menjadi hal baru lagi. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kebutuhan akan ruang serta pangan terus menggerus luas lahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan beralih fungsi menjadi bangunan yang apik dan nyaman. Program pemerintah membangun sejuta rumah layak huni memerlukan banyak lahan kosong. Meski tidak langsung mengalihfungsikan lahan pertanian, dampak dari program ini dapat ikut menggerus ketersediaan lahan yang berpotensi digunakan untuk produksi agraris.
Tingginya modal yang digunakan untuk menggarap sebidang tanah sangat berbanding terbalik dengan harga jual sekarung beras yang beredar di pasaran. Belum lagi apabila petani mengalami gagal panen mereka harus mengocek uang lebih untuk mempertahankan padi yang ditanan agar tetap dapat di panen. Hal itu belum termasuk untuk membayar upah sewa alat traktor dan penyedot air.Terlebih ditambah dengan menurunnya kualitas lahan pertanian dikarenakan penggunaan pupuk ataupun pestisida yang berlebih dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah. Dapat saya katakan berkurangnya kesuburan pada tanah berbanding lurus dengan berkurangnya lahan pertanian yang ada.