Tiga kali mengganti bos pabrik baja dalam lima tahun membuat kultur industri baja tidak terbentuk.
Bisa jadi saya salah dalam menyimpulkan itu. Saya bisa menerima pandangan lain yang lebih benar.
Jadi, Krakatau Steel perlu dijual atau tidak?
Lihatlah angka berikut ini. Kebutuhan baja dalam negeri –di tahun 2019– adalah 14 juta ton. Angka ini cenderung naik terus. Apalagi kalau ekonomi Indonesia terus meroket. Ruang untuk tumbuh masih sangat besar.
Baca Juga:Dampak Kenaikan UMK, Perusahaan akan Hengkang dari SubangMalam Tahun Baru, Grant Hotel Gelar Aloha Party
Produksi baja Indonesia saat ini 7 juta ton. Sudah termasuk pabrik stainless steel terbaru di Morowali, Sulawesi Tenggara.
Berarti, produksi baja kita sebenarnya baru separo dari kebutuhan dalam negeri.
Jelas sekali, pabrik baja di dalam negeri masih diperlukan.
Asal harganya bisa bersaing dengan baja impor. Terutama dari –Anda saja yang melanjutkan kalimat itu.
Saya termasuk yang menyesal tidak cepat memutuskan ini: ganti total gas di Krakatau Steel dengan batu bara. Memang perlu uang banyak.
Dan Krakatau Steel lagi tidak punya uang. Tapi harusnya uang bisa dicari.
Uang memang sudah dicari. Tapi prioritas kala itu untuk membangun pabrik baja baru. Sekalian dengan bahan energi batu bara.
Ups, ada alasan lain. Penggantian pabrik lama ke batu bara tidak bisa dilakukan serentak. Harus bertahap. Pabrik baru harus beroperasi dulu.
Baca Juga:Pasar Johar Raih Penghargaan Pasar TerbaikFKSS Pertanyakan Kepedulian Gubernur, Dana BPMU Hanya Naik Rp50 Ribu
Baru yang lama dirombak. Agar produksi tidak terhenti. Apalagi sampai beberapa tahun.
Alasan untuk tidak melakukan perombakan itu memang banyak. Kadang masuk akal. Kadang tidak.
Yang diputuskan waktu itu baru ini: pabrik baru harus tidak boleh lagi pakai gas. Itu kalau kebijakan gas negara masih seperti ini. Harus didesain menggunakan batu bara.
Keputusan itu jalan. Salah satu pabrik yang baru di sana sudah menggunakan batu bara.
Ke depan, pembangkit listrik Krakatau Steel pun juga harus diganti. Dengan PLTU batu bara. Pembangkit gas yang sekarang bisa dikerjasamakan dengan PLN. Hanya untuk kebutuhan peaker Jakarta dan sekitarnya. Yang keperluannya kian terasa waktu mati listrik sengin 1 triliun lalu.
Masih banyak hope di sana. Hanya saja memang harus lebih sabar. Tidak bisa mengharapkan hasil langkah baru dalam tiga tahun. Apalagi dua tahun.