Oleh: Herawati Hartiyanti Lestari, S.Hum
Aktivis Muslimah Pantura Subang
Beberapa waktu lalu Subang disambangi orang nomor satu di negeri ini, yakni Presiden Joko Widodo.Tujuan utama beliau adalah untuk meninjau progres pembangunan pelabuhan Patimban yang ditargetkan selesai 2020 mendatang. Pelabuhan ini dicanangkan akan menjadi pelabuhan terbesar di tahun 2027 (suaracom 30/11/).
Simultan dengan pembangunan pelabuhan internaional, juga akan dibangun sekolah kemaritiman di wilayah ini. Bersamaan dengan itu pula proyek jalan tol dan pembuatan jalur kereta api sepanjang 28km terus digeber guna membantu perlintasan transportasi menuju Patimban.
Kasi Pengembangan Jaringan Dirjen Perkeretaapian Kemenenterian Perhubungan Awang Meindra mengatakan bahwa proyek jalan tol dan kereta ini akan melewati 15 Desa di 7 Kecamatan, dengan sebanyak 95% menggunakan lahan persawahan milik warga (mediajabar 18/10).
Baca Juga:Warga Desa Mundusari Swadaya Bangun Rumah WargaDukung Investor Kembangkan Wisata
Proyek besar-besaran ini pada faktanya tak lepas dari utang luar negeri yang melibatkan beberapa negara. Salah satunya Jepang, melalui JICA ia memberi pinjaman sebanyak 14,3 triliun. Pinjaman ini akan menjerat Indonesia dalam jangka 40 tahun beserta bunga pertahunnya. Padahal hingga Oktober 2017 saat pinjaman ini ditandatangani, Indonesia sudah memiliki 31 pinjaman kegiatan on-going yang berasal dari JICA dengan nilai sekitar 69 triliun (republika15/11/17).
Angka utang yang cukup tinggi dan ini baru berasal dari satu sumber. Belum lagi ditambah utang-utang sebelumnya yang sampai saat ini hanya terbayar bunganya saja. Wajar saja jika APBN terus menerus mengalami defisit. Hingga akhir Agustus 2019, posisi utang pemerintah Indonesia berada di angka Rp 4.680,19 triliun (CNBC Indonesia 25/09).
Faktanya proyek ini makin menambah nilai utang Indonesia yang terus menggunung. Secara otomatis ini akan turut membebani rakyat. Jelas ini berkorelasi pada nominal tagihan pajak yang semakin tinggi. Bahkan sampai bidang usaha terkecil milik rakyatpun kini dikenai pajak demi menambah pemasukan negara, berjualan nasi bungkus misalnya.
Tak kalah pilu lagi saat melihat kondisi masyarakat disekitar Patimban ini. Lahan yang dipakai untuk pembangunan pelabuhan, sebagian besar adalah lahan milik warga yang berupa sawah dan tambak. Puluhan warga menolak lepas lahan karena ganti rugi terlalu murah.