Ketika ada yang menyinggung bahwa jumlah mata pelajaran (mapel) di sekolah-sekolah kita terlalu banyak, mungkin perlu dikaji lebih lanjut. Jika ditanyakan kepada siswa dan oranguanya, mungkin mereka akan membenarkan bahwa mapel terlalu banyak. Tapi jika ditanyakan kepada guru pengampu mapel, bisa jadi tidak sependapat. Hal ini bisa saja karena rasa primordial keilmuan atau ada hal lainnya. Dalam hal ini mendikbud patut merenungkan secara khusus supaya tidak memakan buah simalakama. Mungkin hal inilah yang merupakan salah satu hal terberat dalam upaya perombakan kurikulum. Namun mendikbud yang baru perlu mengkajinya karena sudah menjadi tugas khusus dari Presiden.
Perombakan kurikulum atau mungkin lebih halusnya perbaikan kurikulum, sudah diambang pintu. Mendikbud tentu sangat menyadari hal itu, terlebih sudah banyak masukan dari berbagai kalangan. Namun menutut hemat penulis, perbaikan kurikulum sebaiknya fokus pada beberapa hal, yaitu sumberdaya manusia, mutu sarana prasarana, dan akses pendidikan.
Sumberdaya manusia pendidikan patut dipertimbangkan karena mereka lah yang akan memainkan “senjata” kurikulum nanti. Terdapat dua jenis sumberdaya manusia dalam pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik jika di sekolah disebut guru dan di perguruan tinggi disebut dosen. Kemudian tenaga kependidikan adalah tenaga pendukung dalam pelaksanaan pendidikan, bahkan bisa jadi merupakan backbound dalam setiap lembaga pendidikan. Sebagus apapun kurikulum, jika sumberdaya manusia tidak menjadi perhatian maka kurikulum hanya sekedar dokumen yang tersimpan.
Baca Juga:Sarae Hills, Padukan Wisata Alam dan Kuliner dengan View Keindahan BandungPeserta Open Bidding Jalani Tes Kesehatan
Bagaimana supaya tenaga pendidik dan kependidikan siap tempur dengan kurikulum yang baru, mendikbud tidak perlu terlalu berpikir keras, cukup perbaiki sistem kesejahteraan mereka.
Mutu sarana dan prasarana pendidikan tidak dapat dilepaskan dari keinginan memperbaharui kurikulum. Peningkatan mutu sarana dan prasana pendidikan di seluruh Indonesia wajib dilakukan. Kurikulum sebagus apapun jika sarana dan prasarana tidak bermutu maka bagaimana cara menerapkan kurikulum. Untuk hal ini mendikbud hanya perlu memperbaiki distribusi yang selama ini terjadi. Anggaran pendidikan yang konon besar harus diperbaiki sistem distribusinya supaya berdayaguna dalam meningkatkan mutu sarana dan prasarana pendidikan.
Mengenai akses pendidikan maka mendikbud harus berpikir ulang, terlebih sekarang pendidikan tinggi sudah kembali lagi ke kemendikbud. Sudah selayaknya akses pendidikan ke perguruan tinggi negeri lebih bersahabat dengan pendidikan menengah. Kemudian akses ke pendidikan menengah juga penting untuk diperbaiki untuk meningkatkan daya saing siswa. Dengan tidak mengabaikan afirmasi kepada warga negara ekonomi lemah, faktor-faktor penentu daya saing juga harus diperhatikan. Singkat kata, sejatinya sistem zonasi tidak memperbaiki apapun, termasuk di pendidikan dasar. Jika sistem zonasi konon untuk membentuk setiap sekolah menjadi maju dan favorit, maka bisa saja terjadi sebaliknya. Sekolah yang selama ini sudah terbina menjadi sekolah maju, akan mengalami degradasi. Namun sekolah yang diharapkan menjadi sekolah maju malah berjalan di tempat, karena sarana dan prasarana yang sangat terbatas.