Kanti Rahmillah, M.Si
Praktisi Pendidikan di Purwakarta
Purwakarta adalah kota santri. Ratusan pesantren hadir mewarnai kota kecil ini. Tak terhitung ulama yang tercipta dari pondok yang mengagungkan asam Ilahi ini. Begitupun kebudayaan yang bernuansa Islami dan tatak rama yang bercorak kanjeng Nabi menjadi keseharian kota Purwakarta.
Namun, lain dulu lain hari ini. Seiring tumbuhnya kota santri menjadi kota sentra Industri, ekses negatif pun tak terbendung lagi. Banyaknya pendatang menyebabkan asimilasi budaya tak terelakan. Gaya hidup metropolitan tak bisa dicegah masuk ke kota ini. Hasilnya, Bisnis esek-esek menjamur, mengimbangi permintaan yang terus meninggi. Era digital pun, turut andil dalam perkembangan bisnis haram ini.
Menurut Kepala satuan Pamong Praja (satpol PP) Kabupaten Purwakarta, Aulia Pamungkas akhir tahun 2019, kembali menjamur bisnis lender tersebut. “ Memang, saat ini kami sedikit kesulitan. Karena, sekarang bisnis prostitusi ini bukan lagi sistem mangkal, tapi sudah terselubung melalui media online. Disinyalir menggunakan aplikasi perpesanan,” Ujar Aulia (sinarjabarcom 24/10).
Baca Juga:TP4D Bubar, Kejari tetap Pantau DesaDidominasi Kejahatan Anak, 399 Perkara Pidana Umum Masuk ke Kejari Subang
Sebenarnya sudah ada Perda larangan pelacuran di kota Purwakarta, namun derasnya arus liberalisasi di negeri ini, tak mengecualikan Purwakarta sebagai kota berbasis agama, ikut terkena arusnya. Liberalisasi adalah proses penanaman ide kebebasan atau sering disebut “Freedom of Behavior”, pemahaman ini lahir dari barat yang berasaskan sekuler dalam kehidupannya.
Impor budaya barat yang massif, nyaris tanpa sensor. Televisi dan media sosial telah menjadi medium tersampaikannya budaya kebebasan ini. Mirisnya lagi, pendidikan yang ada di sekolah minim pelajaran agama. Padahal agama lah satu-satunya perisai dalam menghadapi budaya barat yang tak sesuai dengan kultur budaya kita.
Sebut saja budaya pacaran yang melekat erat pada aktivitas muda-mudi saat ini. Padahal dalam Islam, pacaran adalah gerbang menuju kemaksiatan yang lebih besar, yaitu perzinahan. Tumpulnya iman dan regulasi yang tak menjerakan bagi pelaku maksiat, menjadikan perzinahan sebagai perbuatan yang biasa saja. Begitupun konten pornografi dan pornoaksi yang dengan mudah bisa diakses generasi telah menjadi penyumbang terjadinya pergaulan bebas.