Demikian juga Al Izza dan Institut Injil Indonesia.
Tentu juga sudah banyak sekolah Islam dengan kualitas mirip Tazkia. Di seluruh Indonesia. Beberapa sudah saya lihat sendiri. Dan sudah saya tulis di DI’s Way.
Amanatul Ummah di daerah wisata Pacet, Mojokerto, adalah juga sekolah bermutu yang kecepatan perkembangannya seperti Bouraq.
Ini bisa disebut era baru pendidikan Islam. Setelah era pondok pesantren salaf dan sistem madrasah.
Era baru itu sekaligus bisa diartikan era sekolah mahal.
Baca Juga:Proyek Lingkar Jalancagak Masuki Tahap DelineasiApdesi Laporkan Media Online, Dugaan Pencemaran Nama Baik
Meski ‘hanya’ SMP dan SMA Tazkia memiliki tujuh guru bergelar doktor. Termasuk lulusan Jepang dan Al Azhar Mesir. Bahkan satu gurunya didatangkan dari Sudan. Untuk SMA jurusan Ulama.
Di salah satu banner motonya memang tertulis ‘Takzia: SMA rasa Universitas’.
SMA Takzia punya lima jurusan: Ulama, Enterpreneur, Sciencepreneur, jurusan CEO dan profesional manajer.
“Banyak orang tua murid yang pengusaha. Jangan sampai gara-gara anaknya sekolah di pesantren tidak mampu meneruskan usaha orang tua,” ujar Ali Wahyudi.
Tokoh kita ini orang Madura –maksud saya: dari pedesaan luar kota Pamekasan.
Ali Wahyudi dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ia lulusan SMAN di kotanya. Merangkap belajar agama di pondok setempat.
Dari Pamekasan ia masuk fakultas ekonomi jurusan manajemen Universitas Muhammadiyah Malang –universitas terbesar di lingkungan Muhammadiyah, yang umumnya besar-besar itu.
Baca Juga:Ahli Waris Korban Tenggelam dapat Santunan Rp 50 JutaTrend Food Truck Makin Menggeliat, Diminati Oleh Pengusaha Milenial
Ayahanda Ali Wahyudi petani. Ibunya yang pengusaha: toko mracangan di desanya.
Tokoh kita dari Madura ini bisa menangkap fenomena baru di masyarakat –khususnya masyarakat Islam. Yang ekonomi mereka sudah sangat baik. Yang jumlahnya sudah sangat besar. Yang menginginkan anak mereka lebih baik lagi.
Anak dari kelompok ini sudah biasa hidup di rumah bagus. Dengan fasilitas bagus. Dengan makan yang bergizi.
Kelompok ini juga kian sulit mendidik anak mereka sendiri –karena sibuk. Tapi mereka juga tidak mau anak mereka tidak paham agama.
Ali Wahyudi mencatat baik-baik fenomena baru itu. “Pertanyaan pertama orang tua yang datang ke sini adalah: bagaimana makan anak saya nanti,” ujar Ali Wahyudi. “Bukan lagi soal bagaimana kurikulumnya,” tambahnya.