Oleh: Dahlan Iskan
Jalan menuju kuil Hanoman ini ruwet sekali.
Ups, salah.
Semua jalan di kota suci Varanasi ini ruwet sekali. Dan berdebu. Semua jenis kendaraan berebut aspal. Juga bersaing dalam adu keras membunyikan klakson. Dan adu cepat –siapa yang klakson duluan.
Inilah kota yang paling ruwet lalu-lintasnya –di antara kota ruwet yang saya kunjungi.
Dan kotor.
Kekotoran di sekitar kuil ini hanya kalah dari kekumuhan di sekitar Masjid Jami Old Delhi. Atau Kota Old Delhi secara keseluruhan.
Baca Juga:Tubuh Bendungan Sadawarna Ditargetkan Selesai Akhir TahunJalan Tol Layang Jakarta-Cikampek Diresmikan
Meski saya tinggal di New Delhi saya selalu datang ke Old Delhi –karena masjid bersejarahnya ada di situ.
Saya pernah ke Delhi untuk belajar bagaimana mengatasi pencurian listrik.
Waktu itu tingkat pencurian listrik di Indonesia 12 persen. Yang tertinggi di daerah ehm – -mencapai 16 persen. Terendah di Jateng –hanya 7 persen.
Saya tidak jadi belajar. Pencurian listrik di Delhi – -ketika itu– ternyata 35 persen. Yang saya maksud Delhi adalah gabungan antara New dan Old Delhi.
Waktu itu saya tidak membayangkan suatu saat saya akan ke Varanasi. Bahkan nama kota ini pun belum pernah saya dengar. Saya bisa membayangkan tingkat pencurian listriknya. Terlihat dari ruwetnya kabel di mana-mana –bercampur aduk dengan segala macam kabel telekomunikasi.
Tapi saya ke Varanasi tidak untuk kabel. Saya mau ke Kuil Hanoman. Yang di antara Kuil Hanoman seluruh India yang di Varanasi inilah yang dianggap paling tinggi.
Hari itu matahari sudah tenggelam. Menjelang masuk hotel saya mendengar alunan suara musik keras. Musik India. Diselingi lagu-lagu dari orang banyak. Bayangan saya seperti lagi ada konser selawat Habib Syech.
“Apa itu?” tanya saya pada yang mengantarkan saya. Ia seorang India Katolik –sejak kakek-neneknya dulu. Tapi kalau lagi ada acara-acara resmi ia mengenakan topi orang Sikh –sebagai orang asli Punjab.