Ketika elite yang menentukan direksi justru akan memperlihatkan bahwa direksi BUMN hanya merepresentasikan keinginan elite saja, bukan merepresentasikan keinginan karyawan yang ada di perusahaan tersebut. Terlebih lagi ketika perusahaan BUMN melakukan RUPS, terkadang perusahaan-perusahaan BUMN melakukan RUPS secara tertutup. Artinya tidak ada pers yang berhak meliput RUPS tersebut, karena peraturan menteri tersebut lah yang justru menutup pegerakan pers untuk mengetahui seluk beluk dari RUPS tersebut. Inilah yang menjadi penyebab terciptanya korupsi ataupun pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa direksi yang ada di BUMN.
Maka dari itu, sebaiknya Kementrian BUMN harus merevisi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-03/MBU/2015. Kementrian BUMN seharusnya membuat peraturan baru agar pemilihan direksi bisa dipilih oleh seluruh karyawan yang ada di perusahaan BUMN, dan dalam pengangkatan direksi juga harus diliput oleh pers, agar masyarakat mengetahui kualitas dari seorang direksi tersebut. Yang paling terpenting juga, pemilihan direksi BUMN harus terlebih dahulu diseleksi oleh KPK, karena pada hakikatnya seseorang yang dicalonkan sebagai direksi perusahaan BUMN harus bersih dari noda-noda korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Memuliakan Kritik
Perusahaan BUMN terkadang menjadi perusahaan yang terlalu tunduk terhadap status quo yang diciptakan oleh negara. Tanpa disadari, karena perusahaan BUMN terlalu tunduk dan takut terhadap status quo yang diciptakan oleh negara, pada akhirnya hal tersebut juga bisa berimplikasi terhadap matinya kritik yang seharusnya bisa disampaikan oleh karyawan yang ada di perusahaan BUMN kepada para direksinya. Meskipun ada beberapa perusahaan BUMN yang mempunyai program-program internal yang bisa mendekatkan gap antara karyawan dengan para direksi, namun tetap saja para karyawan tidak akan mau untuk menyampaikan kritik kepada para direksinya.
Baca Juga:Ormas Islam Desak Terbitkan Perda MirasBawaslu Seleksi 255 Pelamar
Pada umumnya ketika pengangkatan direksi baru di perusahaan BUMN, target-target yang akan dicapai oleh direksi tersebut selalu diapresiasi oleh karyawan yang ada di internal perusahaanya masing-masing. Namun setelah direksi tersebut telah memimpin perusahaan BUMN bertahun-tahun, sangat sulit sekali bagi karyawan untuk menyampaikan kritik kepada direksinya. Misalnya saja mengenai kebijakan Direktur Utama Garuda Indonesia yang pada saat itu sering melarang awak kabin untuk terbang. Sehingga larangan tersebut membuat para awak kabin Garuda Indonesia tidak mendapatkan upah jam terbang. Hal tersebut merupakan bukti bahwa terkadang direksi yang ada di BUMN selalu otoriter dalam memimpin dan tidak bisa memuliakan kritik.