Oleh : Dahlan Iskan
Bajaj menuju Kuil Hanoman ini pun bergambar Hanoman –di kaca depannya.
“Di rumah, Anda punya berapa dewa?” tanya saya pada sopir Bajaj itu. Ia orang asli kota suci Varanasi, pedalaman negara bagian Uttar Pradesh.
“Punya dua. Dewa saya Hanoman. Dewa istri saya Shiwa,” katanya.
“Kenapa Dewa istri Anda Shiwa?” tanya saya lagi.
“Lho dia kan wanita,” jawabnya.
Sejak itu saya punya kebiasaan baru. Setiap kali naik Bajaj saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabnya pun sama. Laki-laki berdewa Hanoman. Perempuan berdewa Shiwa.
Baca Juga:Persikas dan Askab PSSI Subang Latihan Bareng Timnas Pelajar U18 dan SSB RagunanNekat Lawan Petugas, Pentolan Begal Klari Ditembak Mati
Waktu kecil saya mengira Shiwa itu laki-laki. Akibat pengajaran agama dengan guru yang kurang membaca.
Di India Dewa Shiva itu istri Parbheti.
Salah anggapan saya lainnya: Dewa Shiwa itu tugasnya menghancurkan dunia. Di India Shiwa itu dewa cinta dan kesetiaan.
Kesalahan saya yang lain: jumlah Dewa. Saya kira Dewa di agama Hindu itu hanya tiga: Brahma, Wishnu, dan Shiwa. Itulah yang diajarkan di sekolah.
Setelah dewasa barulah saya tahu: Dewa dalam Hindu banyak sekali. Orang bisa berdewa satu –tapi umumnya berdewa banyak. Termasuk pohon di tengah jalan. Pelajaran sekolah tentang Hindu banyak yang tidak tepat –dulu.
Termasuk soal kasta yang empat. Ternyata di India ada lima kasta. Yang nomor lima adalah kasta Dalit –kelompok di bawah empat kasta.
Rakyat jelata. Gembel. Istilahnya: tidak berkasta.
Jumlah Dalit luar biasa besarnya. Apalagi di negara bagian Uttar Pradesh ini. Sampai pun pernah menang Pilkada. Beberapa kali. Dengan tokoh utama mereka: Mayawati.
Saat Bajaj masuk ke jalan menuju Kuil Hanoman terlihat tenda usang di depan sana. Dengan meja kusam di bawahnya.
Baca Juga:Produksi 3 Ton Perhari, Pakan Ternak Neglasari Tembus Pasar JabarBentuk Rasa Syukur dan Berkah, Desa Bongas Gelar Hajat Bumi
Saya langsung saja berjalan menuju gerbangnya. Melewati pemeriksaan. Badan saya diraba. Ketika rabaan sampai di pinggul tangan itu berhenti.
“Bawa ponsel ya?” katanya.
Saya mengangguk.
“Titipkan di sana,” ujar petugas itu. Seraya menunjuk meja di bawah tenda itu.
Setelah beres saya pun kembali melewati gerbang. Ada koridor selembar 1,5 meter menuju kuil. Kanan-kirinya tanah kosong. Dengan beberapa pohon besar.