Oleh: Fahri Hilmi
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Asep dan Mumun mesti pasrah. Cinta mereka tak diizinkan alam. Kedua sepasang kekasih itu tak bisa dipersatukan. Dayat, ayah Mumun, adalah orang yang sama yang membuahi Romlah, ibunda Asep. Ya, Asep dan Mumun adalah kakak beradik dari ayah yang sama.
Sejak awal berpacaran, Dayat tak setuju hubungan kedua remaja ini. Situasi yang demikian runyam membuat ratusan penonton yang hadir di gedung Societet Taman Budaya, Yogyakarta pada Senin (23/12) kebingungan gerangan apa yang membuat Dayat kekeh tak menyetujui hubungan asmara putrinya.
Kemunculan Aki Owah semakin memperumit persoalan ini. Ternyata, Dayat adalah anggota komune Meong Pitu yang di dalamnya juga terdapat Mardun, ayah Asep. Mardun adalah Meong Putih, Dayat adalah Meong Hitam. Aki Owah yang sejak kemunculannya hanya tertawa dan menyindir, ternyata juga anggota Meong Pitu. Aki Owah adalah Meong Merah.
Baca Juga:Pemilu Partisipatif Dievaluasi, Libatkan Pemuda Lintas AgamaSyaikhu: Pilkada Serentak Akan Sangat Rumit
Rahasia yang diredam selama 24 tahun lamanya oleh Aki Owah, akhirnya pecah membuncah. Kakek gila itu membocorkan semuanya. Katanya, “Nitiwanci nu mustari, nitimangsa nu utama. Semua ini harus segera dibuka. Sebelum bencana menghampiri kita semua.”
Sebelum kerunyaman ini terjadi. Romlah ternyata bertali kasih dengan Dayat. Pertalian ini bahkan sampai kepada Romlah yang mengandung anak Dayat yang tidak lain adalah Asep. Sayang, di sebuah perebutan kekuasaan Meong Pitu, Dayat kalah oleh Mardun. Kekalahan itu menyebabkan Romlah mesti berpindah hati kepada Mardun. Ini semua karena kesepakatan. Faktanya, sebelum menikahi Mardun, Romlah telah mengandung Asep, darah daging Dayat.
Rahasia ini menyeruak, masuk sampai ke telinga Ambu, istri Dayat, hingga Mardun. Celakanya, rahasia ini juga telah didengar oleh kedua tokoh utama, Asep dan Mumun. Di akhir kisah, semua tokoh kaget bukan kepalang.
Aki Owah seperti tanpa beban membeberkan skandal ini. Serentak, Asep, Mumun, dan Dayat, menusuk tubuhnya dengan bilah tajam hingga mereka mati. Kematian ketiganya sekaligus menutup pentas teater berjudul “Cinta Katungkul Ku Pati” yang digarap oleh Sanggar Seni Ranggawulung, Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Subang (IPMKS) Yogyakarta. Riuh tepuk tangan penonton menjadi akhir manis dan apresiasi bagi teater garapan anak-anak Subang ini.