Oleh: Fahri Hilmi
Mahasiswa KPI, Fak. Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Perayaan tahun baru biasanya identik dengan hura-hura, pesta, dan sifat-sifat yang cenderung hedonistik. Kembang api akan meletus di sana-sini. Orang-orang akan berbondong-bondong ke pusat perbelanjaan dan pusat wisata untuk menghambur-hamburkan uang. Lebih parah lagi, sebagian orang akan merayakannya dengan mabuk-mabukan hingga melakukan zina.
Padahal menurut sejarah, perayaan tahun baru sangat identik dengan hal-hal yang sifatnya religius. Dalam catatan sejarah klasik, perayaan tahun baru selalu digelar oleh bangsa Yahudi, Majusi, dan Nasrani dengan melakukan ritual-ritual keagamaan dan berbagi kasih. Di beberapa kelompok masyarakat Islam, pergantian tahun–walaupun masehi–biasanya dimanfaatkan untuk melakukan zikir dan doa bersama.
Melihat makna pergantian tahun yang sedemikian bergeser, saya kira perlu bagi kita sebagai bangsa modern untuk memaknai ulang perayaan tahun baru agar kembali kepada relnya yang semula, yakni sebagai perayaan yang sakral dan religius. Pergantian tahun mesti dijadikan ajang refleksi dan evaluasi diri, mengingat-ingat kembali apa yang telah kita tinggalkan di tahun lama, dan mempersiapkan apa yang akan kita lakukan di tahun yang baru.
Solidaritas Kebangsaan
Baca Juga:Pasangan ‘Enak’ Dideklarasikan13 Narapidana dapat Remisi Natal
Sebagai negara multikultural, Indonesia adalah tanah yang dihuni oleh bermacam-macam ras, suku, dan agama. Sayangnya, peristiwa-peristiwa intoleransi masih saja terjadi di sekitar kita. Berdasarkan data hasil penelitian Setara Institute, ada 2.975 tindakan pelanggaran kebebasan beragama selama kurun 11 tahun terakhir. Pada tahun ini saja, Imparsial mencatat ada 37 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Selain itu, di balik glamornya perayaan tahun baru, kaum minoritas, buruh miskin, masyarakat miskin kota, pedagang kaki lima, dan kelas marjinal lainnya masih saja mengalami penindasan dan perampasan. Rakyat kelas bawah tentu masih belum dapat menikmati hura-hura pergantian tahun sebagaimana yang kita rasakan.
Melihat fenomena perpecahan semacam itu, saya kira pergantian tahun haruslah menjadi momentum kita untuk memaknai kembali kebinekaan dan multikulturalitas Indonesia. Sebagaimana saya katakan di awal, momen pergantian tahun harus dijadikan ajang refleksi dan evaluasi diri. Dalam hal ini, barangkali tepat jika kita merefleksikan dan mengevaluasi soliditas kebangsaan dan persatuan antar golongan bangsa kita.