Oleh:Â Kanti Rahmillah, M.Si
Praktisi Pendidikan di Purwakarta
Saat ini, pemerintah telah menjadikan infrastruktur sebagai prioritas utama dalam pembangunannya. Pusat perekonomian terus melakukan pembangunan infrastruktur, dari mulai tol layang, kereta cepat, pelabuhan, hingga bandara. Wajar pemerintah pusat terus menggenjot investasi swasta, termasuk swasta asing. Triliunan anggaran telah keluar dari beberapa megaproyek infrastruktur.
Bukan hanya pusat, pemerintah daerah pun turut serta dalam pembangunan infrastruktur yang gila-gilaan. Misal saja proyek strategis nasional di Subang yaitu Pelabuhan Internasional Patimban. Akhirnya, dengan dalih support terhadap pembangunan pelabuhan Patimban, pemerintah setempat menganggarkan dana untuk pelebaran jalan menuju Patimban, Pengadaan tanah lingkar Subang, pembangunan ruas jalan Purwadadi-Pabuaran, dan pengadaan lahan di Subang kota.
Tentu, proyek pembangunan infrastruktur menuai krtikan dari para ekonom. Dana yang begitu besar, hingga harus menggandeng pihak swasta asing, telah menjadikan Indonesia terjebak dalam lilitan utang. Apalagi jika kita melihat bahwa pihak yang paling diuntungkan adalah pemilik modal. Jauh dibandingkan dengan benefit yang diterima rakyat, bahkan mayoritas tak bisa menikmati kebermanfaatanya. Rakyat yang mayoritas tak memiliki mobil tak merasakan manfaat dari jalan tol. Lantas siapa yag diuntungkan dari jalan tol?
Baca Juga:2020, Tarif Tol Cipali NaikIsi Liburan, Anak Kampung Cariu Bermain Lori Sambil Bantu Orang Tua
Sebenarnya, makna pembangunan infrastruktur bukanlah hanya membangun jalan saja. Lebih luas dari itu, pembangunan infrastruktur adalah membangun bangsa, meliputi semua aspek, antara lain membangun jalan; jembatan; pembangkit listrik; bandara; rel kereta api; pelabuhan; jaringan telepon; perangkat dan jaringan internet; puskesmas; sekolah; sarana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); sarana WC; sarana dan fasilitas air bersih; fasilitas MCK; sumur; bendungan; jaringan irigasi; embung; sarana perumahan; permukiman; pasar, kawasan industri.
Seperti dilansir dari Galamedianews.com, seorang mahasiswi Universitas Subang, Vevia Oktaviani Budianysah mengauplod keberadaan SDN Cinta Warna yang berlokasi di Kampung Cigebang, RT 13/RW 05, Desa Talagasari, Kecamatan Serangpanjang. Dari 60 orang kelas I-VI, mereka belajar di lantai. Pasalnya meja dan bangku tidak sanggup untuk menampung murid yang belajar. Belum lagi fasilitas dan sarana prasarana yang jauh dari layak.