Setelah unggahannya itu mendapat respon dari banyak pihak, termasuk media memblow up. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang, H. E. Kusdinar membenarkan kalau hingga akhir tahun ini masih tercatat sekira 262 sekolah negeri maupun swasta dalam kondisi rusak berat, sedang maupun ringan. “Jumlahnya memang masih banyak, sekitar 30 persennya dari jumlah sekolah dasar sebanyak 876 SD, negeri dan swasta,” kata Kusdinar. (Galamedianewscom 11/12)
Sungguh miris, disaat 262 sekolah dalam kondisi rusak berat. Pemerintah daerah malah fokus pada pembangunan jalan. Mengapa infrastuktur hanya berfokus pada jalan atau pada sesuatu yang bernilai ekonomi?
Itulah imbas dari negara korporatokrasi. Pelibatan pihak swasta yang besar terhadap pembangunan telah menjadikan pembangunan berporos pada keuntungan. Adapun pembangunan yang sifatnya sosial, tak ada benefit besar bagi para investor, tak akan pernah dilirik. Seperti pembangunan sekolah, puskesmas dan temapat-tempat pelayanan rakyat.
Baca Juga:2020, Tarif Tol Cipali NaikIsi Liburan, Anak Kampung Cariu Bermain Lori Sambil Bantu Orang Tua
Jika dalih pembuatan infrastruktur jalan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya rakyat yang mana? Kebutuhan mendesak rakyat bukanlah jalan, tapi infrastruktur yang langsung terkait dengan mereka, seperti pembangunan pembangkit tenaga listrik. Pasalnya, masih banyak desa belum terailiri listrik.
Apalagi jika berbicara sekolah. Sekolah adalah tempat para generasi menimba ilmu. Seharusnya ini adala asset berharga, karena dengan fasilitas yang baik, siswa akan betah di Sekolah. Hingga melahirkan generasi penerus bangsa yang siap melanjutkan estafet pembangunan. Para guru akan berkonsentrasi dalam mengajar, tanpa dibebani urusan teknis pembangunan sekolah.
Sesungguhnya, semberautnya urusan infrastruktur ini adalah ulah dari sistem ekonomi neolib yang diadopsi negeri ini. Celakanya, negara korporatokrasi adalah model ideal di dalam sistem ini, yaitu pelibatan secara full oleh swasta dalam menjalankan program-programnya. Jadi, pembangunan infrastruktur yang tak kenal skala prioritas ini adalah konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi neolib.
Berbeda dengan Islam, yang menjadikan umat sebagai fokus pembangunan infrastrukturnya. Bukan konglomerat seperti sistem neolib. Sistem ekonomi Islam yang kuat, tak akan sudi bergantung utang pada swasta asing. Begitupun pembiayaan pembangunan infrastruktur, bukan dari utang tapi dari kas negara. Negara akan memprioritaskan pembangunan untuk melayani umat. Adapun sumber pendapatan kas negara, terbesar dari pemanfaatan sumber daya Alam. Maka haram hukumnya, menjual barang tambang kepada asing.