Setelah meledak kasus Wuhan ini saya minta maaf pada istri. Tapi sarang kelelawar itu ternyata sudah lama hilang. Mungkin selama ini Pak Man ternyata lebih mendengar ucapan istri saya. Toh saya pergi terus.
Mungkin juga karena musim mangga sudah lama berlalu. Rupanya empat pohon mangga di halaman saya jadi daya tarik kelelawar. Ditambah empat pohon mangga lagi di luar pagar.
Saya juga jadi ingat luwak di desa saya di Magetan. Waktu kecil dulu saya sering ikut berburu luwak. Yang suka bersembunyi di dalam rumpun bambu berduri.
Luwak itu menjadi musuh orang desa –suka mencuri ayam di pekarangan. Ayam itu sudah berbulan-bulan dipelihara. Begitu besar dimakan luwak.
Waktu kecil saya juga suka ke bawah pohon mangga di halaman tetangga. Khususnya di waktu subuh. Itulah saat yang tepat untuk berburu mangga yang jatuh ke tanah. Yakni mangga yang sebagiannya sudah dimakan kelelawar. Terutama bagian yang dekat dengan tangkai. Yang membuat mangga itu jatuh.
Mangga yang jatuh karena dimangsa kelelawar adalah mangga yang pasti manisnya: cukup tuanya.
Kini saya kagum dengan masa lalu itu. Makan sisa-sisa kelelawar kok ya sehat-sehat saja. Padahal, dari kacamata virus Wuhan ini, itu bahaya sekali. Pasti ada sisa-sisa air liur kelelawar di buah itu. Apalagi mangga itu langsung saya makan begitu saja –tanpa dicuci atau dikupas.
Mungkin suhu udara Indonesia yang tropik membuat virus tersebut tidak bisa berkembang. Iklim di negara kita kelihatannya lebih memungkinkan jenis virus lain yang berbiak pesat.
Misalnya virus jiwascoronasraya.